Prolog

60 17 0
                                    

Terkadang aku membenci rasa ini.
Sebuah ketidakpastian yang tampak dengan ketidakmampuan mengakhiri.
Seringkali aku putus asa.
Haruskah kuakhiri sekarang?
Apa penantianku sudah cukup?
Dia tidak menyukaiku?

Aku menutup mata, mengambil napas berat. Merenung sejenak, lalu kembali membuka mata dan menatap langit-langit kamar.

Memoriku berjalan mundur, mengingat takdir takdir tentang kami. Terlalu banyak aku, bukan-nya.

Otak kananku bicara, "Hari ini memang berat, kamu mungkin lelah. Rasanya kamu ingin berhenti dan pergi begitu saja. Namun, esok kamu tidak akan tau, mungkinkah saat matahari terbit dia menyukaimu?"

Esok,esok,esok. Aku terlalu suka dengan hal itu, hingga membuat ku lupa kapan semua ini dimulai.

Senyum mengukir tipis di bibirku. Mataku berbinar melihat langit-langit kamar yang senyap.

Menyukai dalam diam itu ibarat menggambar satu objek. Semakin kita ingin menyempurnakan objek itu, semakin banyak pula bekas penghapus yang terlihat.

Semilir angin tiba-tiba menyeruak ke sekujur tubuhku. Mataku tertuju pada jendela kamar yang terbuka. Aku berdiri, berjalan ke arah jendela. Tersenyum pada senja, sesaat sebelum menutup jendela.

Bicara tentang senja, senja itu romantis. Warnanya membuat takjub si penikmatnya, membuat rasa syukur kepada pencipta-Nya.

Melihat senja, rasanya hidup ini tidak terlalu berat. Senja bagaikan semangat yang bisu. Diam, namun memiliki makna bahwa semuanya akan berakhir indah.

Tanpa angin, tanpa hujan. Entah mengapa sore ini, aku meratapi nasib sendiri. Aku lupa, bahwa takdir adalah hasil usahaku.

"Ini belum cukup," kataku, lalu hanyut dalam petualangan bawah sadar.


○○○
Look at my eyes, "I don't love you," but hear my heartbeat, "I love you, too much,"
○○○

Love's UndeliveredTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang