Segelas kopi dan roti

109 16 22
                                    

Sesejuk embun yang menyapa pagi
Membelai lembut setiap rerumputan
Seputih cahaya yang kupandangi
Sekeras minuman yang memabukkan

Serasa ingin mati
Jika melihatnya mulai mendekati
Serasa ingin berjanji
Dan tak akan mengingkari

Sebuah senyum nan indah selalu menyapa pagi. Membawa saya pada dunia khayal diantara hamparan bunga ini. Mungkin saja tempat ini begitu indah dan sedap dimata orang, tapi tidak bagi saya, tidak tanpa melihat senyum itu saat pagi. Senyuman yang mendamaikan hati, yang hanya bisa saya balas dengan sebuah sapa.

"Selamat pagi," sapa saya

"Bunganya indah. Saya punya kopi dan roti." ucapnya dengan senyum malu- malu yang terlihat begitu lembut.

Jauh lebih lembut dari roti terlembut yang pernah saya makan. Bahkan kapas pun tak akan bisa menyainginya. Sementara tangan ini dengan cepat meraih sebatang bunga mawar dan memberikan itu padanya sebagai ucapan terima kasih.

Seketika bunga -bunga itu muram
Indahnya telah dia kalahkan
Bahkan bibir sayapun kini bungkam
Kepala membesar seakan ingin pingsan

Bukan bidadari dari kahyangan
Bukan juga sebuah virus yang mematikan
Hanya seseorang dengan kopi dan roti
Hanya seseorang dengan senyun yang dinanti

Saya tidak mengerti, kenapa dia datang ketempat saya menjajakan bunga, dengan segelas kopi dan sepotong roti setiap paginya. Saya sampai sempat berpikir jika dia menyukai saya, dan berharap saya akan membalas perasaannya dengan kopi dan roti yang dibawanya. Sampai harapan itu ahirnya sirnah, pada sebuah pemandangan yang saya sebut penghianatan.

Seteguk kopi yang kau berikan
Takkah mengandung cinta dari hati
Sesobek roti yang saya makan
Apa guna juga saya sesali

Hanya sekejap saja, saat saya melihat dia disebuah toko bunga di pusat kota sana. Membawakan kopi dan sepotong roti lalu tersenyum dan bicara hal yang sama pada orang yang berbeda. Pada orang yang tidak saya kenal, sama seperti saya tidak mengenal dia.

"Kopi."

Dia mengejutkan saya yang tengah sibuk dengan bunga- bunga ditoko saya. Tapi meskipun hati ini telah tersakiti, saya tak berdaya untuk tidak menerima senyum itu.

"Jangan beri saya kopi dan roti jika itu tak punya rasa, jangan beri saya harapan jika itu memang tidak ada."

Dia memandangi saya dengan kedua bola matanya yang kini bulat sempurna. Seakan wajah itu mengandung banyak tanda tanya.
Sungguh naif jika saya berkata kalau saya tidak sedang jatuh cinta pada pemilik senyum indah ini. Dengan dua tangan yang sedang membawa kopi dan sepotong roti. Tapi saya tak ingin terlalu berharap lagi.

"Terimakasih." ucap saya tanpa berani menatapnya lagi, tanpa peduli jika saja dia akan pergi. Sementara diri saya sibukan lagi dengan bunga bunga. Dan diapun tak pernah datang lagi

Sang mendung menepikan waktu
Pada pemburuan bunga yang layu
Rasakan dingim menggerogotiku
Sampai diri rasa membeku

Pada hujan di sore hari itu, saya sadar telah melihat sang pemilik senyum yang beberapa waktu ini menghilang. Dia tampak membawa segelas kopi dan roti dengan tubuh yang basah karena berlari melewati hujan. Tadinya hati ini sudah rela dan melupakan. Tapi mata saya tak bisa berhenti mengikuti langkah ia berjalan.

"Pergi kau gelandangan, saya tidak butuh kopi cap air hujan!" usir seorang pemilik toko bunga seraya menepis gelas kopi hingga tumpah dan mengotori baju si pemilik senyum yang kini mulai menjauh dengan rintik airmata yang tergerus air hujan.

Pikiran saya kalah lagi
Hati ini benar benar tak mau mengerti
Tak perduli jika saya sedang dihianati
Hati tak rela melihat dia tersakiti

Betapa bodohnya saya yang berpikir kalau kopi dan roti adalah tanda bahwa dia mencintai saya. Buktinya, ini kali kedia saya melihatnya memberikan menu yang sama pada dua toko bunga yang berbeda.

Tunggu, kenapa toko bunga? Apa tujuan sebenarnya?

Tanpa saya sadari, bunga bunga yang saya bawa sudah berserakan diantara kaki bangku di halte tempat saya berteduh. Sementara tubuh ini, bergerak tanpa kontrol sang otak.

Menembus sang hujan
Mengejar jiwa yang kebasaha
Berharap akan ada jawaban
Atas setiap penasaran

"Tunggu!" teriakan saya berhasil membuatnya menghentikan langkahnya dan beralih memandang saya yang kini berdiri dihadapannya. Untuk beberapa saat, saya hanya bisa membisu dan membiarkan otak ini bekerja.

"Saya lapar, dan saya kedinginan."
mata itu mengerjap ngerjap tak paham. Tapi bibirnya masih saya bungkam

"Saya butuh roti dan kopi. Mungkin saja bisa menghentikan gemetar saya."

Sang senyum segera pulang
Dan hati pun terasa tenang
Setiap detik ingin di kenang
Meski rintik hujan sudah menggenang

Dia masih saja tak mengatakan apapun. Hanya tangannya sangat cepat meraih tangan saya dan menarik saya dari sana. Lalu tanpa sadar saya merasa telah dibawanya terbang hingga kami mendarat pada sebuah gerbang.

Pada sebuah rumah yang telah usang. Saya lihat seorang ibu tengah berbaring tak berdaya dengan tangan di dada. Saya tidak berani untuk bertanya. Tapi kepala saya terus saja berbicara.
Sang pemilik senyum pun kembali dari dapurnya dengan segelas kopi dan sepotong roti ditangan. Memberikannya pada saya dan membiarkan saya memakannya dengan hati gelisah.

Apa yang terjadi tak dapat saya mengerti
Nyawa tergantung pada kopi dan roti
Setiap kali dia berbagi
Hanya berharap mendapatkan matahari

Mata itu menjatuhkan segelincir air bening yang kini membasahi lutut saya. Dia menaruh kepalanya disana dengan sikap meminta. Sementara saya masih tidak bisa berpikir dengan logika.

"Ibu saya Bronchitis, saya tidak punya uang untuk kedokter ataupun membeli bunga matahari." ucapnya yang masih menangis dilutut saya.

Kali ini saya mengerti, kenapa dia selalu datang pada setiap toko bunga dengan kopi dan roti. Sebab hanya itu yang dia miliki, sebab dia tak bisa membawa ibunya untuk berobat. Dia berusaha mendapatkan matahari, tapi juga tak berani jika harus memintanya, sementara tak ada uang untuk membeli.

Sesaat hati ini rasa teriris
Mengapa terjadi pada sang senyum yang manis
Udara disini terasa menipis
Dan rasa diri mulai menangis

Hanya satu pohon bunga matahari, dan semuanya akan baik baik saja. Seandainya saya tau semua ini. Tak mungkin saya mersa dihianati, tak mungkin saya berkhayal terlalu tinggi. Karan yang dia cari bukan lah hati, karna yang dia cari adalah bunga matahari.

DaisukiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang