Jun-Myeon menatap sangsi restoran kecil di depannya. Tempat itu cukup ramai, yang menandakan bahwa menunya enak. Tapi dia belum pernah memasuki tempat-tempat seperti ini. Maksudnya.. restoran itu bukan jenis restoran yang akan dia datangi.
“Pulang sajalah,” suruh Irene. “Kau tidak akan suka dengan tempatnya.”
Wanita itu turun dari mobil dan Jun-Myeon dengan enggan mengikutinya.
Irene memang masih mengeluh kelaparan setelah menghabiskan steiknya dan menolak saat Jun-Myeon bermaksud memesankan menu lainnya, karena menurut wanita itu, jumlahnya tidak akan sanggup untuk membuat perutnya kenyang. Jadi Jun-Myeon terpaksa menurut saat wanita itu minta diantarkan ke restoran ini. Irene sudah menyuruhnya lamgsung pulang setelah mengantar, tapi dia merasa tidak aman jika meninggalkan wanita itu sendirian di tempat seperti ini.
“Kau sudah sering kesini?” tanya Jun-Myeon ingin tahu, sedikit mengerutkan kening karena ternyata restoran itu didesain agar para pengunjungnya duduk di lantai, seperti di restoran-restoran Jepang. Hanya saja jarak satu meja dengan meja lainnya tidak terlalu jauh, sehingga tidak memberikan privasi yang semestinya.
Irene mengangguk sebagai jawaban sambil dengan santai membuka sepatunya, terlihat seperti orang yang memang sudah terbiasa melakukan hal itu berulang kali. Saat Jun-Myeon bermaksud mengikuti gerakannya, wanita itu tiba-tiba berbalik dan menatapnya tajam dengan mata menyipit.
“Peraturan pertama,” desisnya, “jangan pernah mengomentari jumlah makanan yang kupesan dan mampu masuk ke dalam perutku.”
Dan Jun-Myeon harus bersusah payah mematuhinya saat wanita itu memesan jajangmyeon, ddeokbeokki, kimbap, dan dua botol soju, seolah dia sudah tidak makan berhari-hari.“Kau selalu berkencan di sini?” tanya Jun-Myeon ingin tahu, mengitari tempat itu dengan pandangannya.
Irene berlutut, mengulurkan tubuhnya, lalu tanpa permisi menarik sweater Jun-Myeon sampai terlepas dan menggunakannya untuk menutupi pahanya yang terekspos karena rok mininya yang tertarik ke atas.
“Kau yakin kau itu penakluk wanita? Hal seperti ini saja kau tidak tahu.”
“Aku bukan tipe romantis dan tukang rayu,” dengus Jun-Myeon. “Dan wanita zaman sekarang lebih menyukai pria dingin dan misterius. Masa kau tidak tahu?”
“Aku tidak mengurusi selera wanita lain,” tandas Irene tak acuh. “Dan tidak. Aku tidak pernah mengajak satu pria pun ke sini.”
“Kenapa? Takut mereka mengetahui seleramu yang cukup.. merakyat? Jadi aku pria pertama, begitu?” tanya Jun-Myeon setengah menggoda.
“Sejauh makanannya enak, murah dan tidak membuatku sakit perut, aku tidak peduli mengenai tempatnya. Aku hanya mematok standar tinggi untuk barang yang kupakai. Sepatu, tas, pakaian. Dan kalau-kalau aku lupa, aku tidak mengajakmu ke sini. Aku hanya memintamu mengantarku, dan setelah itu kau bisa pulang. Kau saja yang keras kepala dan tetap mengikutiku.”
Irene meraih mangkok jajangmyeon-nya yang baru diantarkan dan langsung memakannya tanpa berniat menawarkannya pada Jun-Myeon sedikit pun. Pria itu tidak berkomentar dan hanya memangkukan dagunya di atas kedua punggung tangannya yang ditumpangkan ke atas meja, memperhatikan wanita itu melahap makanannya.
“Apa kau selalu makan seperti ini?” tanya Jun-Myeon, akhirnya tidak tahan untuk tidak mengeluarkan suara ataupun komentarnya. Pria itu mengulurkan tangan, mengusap sisa saus hitam yang tertinggal di sudut bibir Irene dengan ibu jarinya. Irene tidak seperti wanita lainnya yang biasanya akan langsung meleleh dengan perlakuan seperti itu. Wanita tersebut tanpa terganggu tetap melanjutkan kunyahannya sebelum menjawab pertanyaan Jun-Myeon, seolah tidak ada yang terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berevolusi ✓
FanfictionKIM JUN-MYEON Aku menyukai wanita itu. Rambut bergelombangnya yang tergerai, bibirnya yang sensual, pinggang rampingnya, dan kakinya yang jenjang. Semuanya hanya masalah fisik. Kemudian suatu pagi aku terbangun di sampingnya dan.. aku menyukai sinar...