——— • MY FATE • ———Nadya sampai di atap sekolah. Tempat favoritnya dari segala tempat di sekolah. Selain tenang, tempat itu juga indah karena dihiasi taman yang berisi bunga-bunga. Ada bunga bougenvill, bunga tulip, bunga kembang sepatu, dan bunga berwarna-warni lainnya yang dirawat Pak Udin tiap hari. Ia tahu, karena setiap kali datang, Pak Udin selalu ada disana sambil menyiram taman tersebut.
Nadya berjalan menuju pinggir atap. Memandang pemandangan bawah kota dari atas atap. Ia memang selalu seperti itu. Katanya, indah dan lucu ketika melihat orang, mobil dan rumah-rumah menjadi kecil.
Mata Nadya beralih ke langit biru yang bersih lalu terhanyut ke dalamnya.
Dia selalu berharap bisa menjadi langit, yang bisa membentang bebas tanpa memikirkan awan apa yang menghalangi warnanya.
Tanpa sadar, gadis itu menarik sudut bibirnya lalu matanya terpejam menikmati semilir angin yang membelai pelan rambutnya.
Sekitar dua menit, akhirnya ia kembali membuka kelopak matanya. Ada yang mengusik indra pendengarannya.
Pandangannya diedarkan ke seluruh penjuru arah, lalu menangkap sesosok manusia yang duduk membelakanginya di sudut atap.
Dan yang membuat Nadya berjalan penasaran menghampiri sosok itu adalah ketika matanya menangkap ada tripod dan kanvas di hadapan sosok itu.
Semakin dekat, semakin yakin pula Nadya itu bukan Pak Udin yang ternyata diam-diam punya bakat melukis. Itu salah satu siswa di sekolahnya.
Nadya tak dapat menutup mulutnya ketika melihat jelas lukisan yang dilukis siswa itu. Ia tak henti-hentinya mengeluarkan suara 'Wah' berulang kali.
Lukisan pemandangan dari atas atap yang dilukis dengan teknik akuarel, dengan jejak sapuan atau basuhan khas secara tepat untuk menambah nilai artistik lukisan tersebut, sukses membuat Nadya berdecak kagum.
Nadya mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru atap lalu kembali lagi menatap lukisan itu. Benar-benar mirip, bahkan bisa dibilang sama. Titik, garis, bidang, bentuk, warna, tekstur, dan volume serta gelap terang terlihat sempurna. Begitu juga dengan unity maupun balance nya.
“Sudah selesai kagumnya?”
Nadya beralih ke sumber suara. Matanya melebar begitu tahu siapa yang membuat lukisan sesempurna itu.
“Eh–eh kak Ryan?”
Ryan tersenyum kecil. Nadya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Masih tidak percaya siswa yang dilihatnya itu Ryan.
“Kenapa disini? Bukannya ini masih jam pelajaran?” tanya Ryan menatapnya.
“Ah, itu tadi aku udah selesai ngerjain tugas jadi boleh keluar kelas.” bohong Nadya. Ah, tidak mungkin Nadya jujur pada Ryan bahwa ia sedang dihukum, memalukan sekali.
“Oh begitu.” jawab Ryan singkat.
“Lalu, kak Ryan sendiri ngapain disini?” tanya Nadya.
“Gue selalu ke sini setiap ada masalah, atau gue le–lah..”
“Oh ya, berarti sama hehe.” ujar Nadya terkekeh membuat matanya melengkung seperti bulan sabit.
“Lo punya masalah?” tanya Ryan. Lagi-lagi Nadya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan tergagap.
“Eh eng–enggak! Oh ya kak, ngomong-ngomong lukisannya bagus banget. Unsur fisik dan nonfisik nya sempurna banget.” puji Nadya lalu mengalihkan pandangannya pada lukisan didepan Ryan.
Ryan mengangguk kecil kemudian tersenyum kecil. “Makasih.” ucapnya.
“Aku juga suka melukis loh kak, nanti boleh deh minta ajarin hehe.” ujar Nadya lagi masih dengan pandangan ke lukisan Ryan. “Soalnya lukisan kak Ryan sempurna kayak pelukis William Turner hahaha.”
Ryan tersentak kecil lalu tersenyum. Mana bisa ia dia sebandingkan dengan pelukis terkenal dari Inggris itu.
“Ada-ada aja! Ngomong-ngomong, lo orang pertama yang bilang lukisan gue bagus. Makasih.” ucap Ryan tersenyum lagi. Nadya menyerngit, “Serius?”
“Iya, gak ada yang tau gue pandai melukis.”
Nadya mengangguk. Jika hanya dia satu-satunya yang mengetahui bakat Ryan, itu berarti Gita juga tak mengetahui. Lagi-lagi pertanyaan besar muncul di otak Nadya. Sebenarnya ada apa dengan Ryan dan Gita? Mengapa Ryan bersikap begitu dingin dan kejam pada Gita seperti yang ia lihat tadi? Apa benar karena sikap Ryan yang begitu, membuat Gita tak berani menghampirinya meskipun Nadya sudah memberikan lokasi Ryan berada? Dan satu pertanyaan yang mengusik Nadya akhir akhir ini. Apa benar sebab ia, hubungan Ryan dan Gita menjadi seperti ini?
Jika iya, patutlah Nadya ikut campur dalam masalah mereka.“Kak?” panggil Nadya. Ryan berdehem kecil, pandangan dan tangannnya masih tak lepas dari lukisan menciptakan sentuhan terakhir.
“Kak Ryan ada masalah sama Kak Gita?”
Ryan terdiam.
“Maaf aku lancang banget nanya ini, tapi apa ada sangkut pautnya dengan masalahku yang kemarin? Kalau iya, maafin aku ya dan boleh kak Ryan cerita?” tanya Nadya sedikit hati-hati. Ada rasa lega yang berbeda saat ia berhasil mengungkapkan perasaan bersalah yang menghantuinya selama ini.
Ryan menoleh, “Nadya, memang benar gue ada sedikit masalah. Tapi, kalau ini karena lo itu semua gak bener, dan lo juga gak patut minta maaf karena itu semua salah gue.” jawab Ryan. Kini ia tersenyum sedikit lebar memamerkan lesung pipinya.
“...dan gue mohon lo lupain aja masalah kemaren.” kata Ryan final dengan lembut.
Nadya membalas tatapan dalam Ryan. Lagi-lagi ia merasa akan tersedot oleh matanya yang mengunci semua pandangan. Dan senyuman Ryan membuat jantung gadis itu berdegup aneh.
Gue kenapa ya? bisik Nadya dalam hati.
Semilir angin yang membelai rambut Nadya pelan membuatnya tersadar. Ia mengerjab sekali lalu mengedarkan pandangannya begitu juga dengan Ryan. Nadya jadi tampak salah tingkah saat ini.
“Lo gak usah khawatir ya Nad.” kata Ryan lagi memecah keheningan yang terjadi beberapa detik lalu. Nadya mengangguk, kemudian menyelipkan beberapa anak rambutnya ke belakang telinganya.
“Oh, kak Ryan! Gak repot kalo bawa tripod setiap hari?” tanya Nadya. Ryan menoleh sebentar ke tripod, benda berkaki tiga yang berguna menyangga kanvasnya untuk melukis.
“Setiap hari gue tinggal tripodnya di gudang atap itu.” tunjuk Ryan pada satu-satunya ruangan kecil yang berada di sudut atap.
“Ha? Gak hilang kak?”
Ryan menggeleng, “Pak Udin selalu merawat gudang, sama kayak merawat bunga di taman itu. Pak Udin juga tahu, kalo gue nyimpan tripod disitu. Jadi dia selalu ngunci pintunya.” jelas Ryan.
Nadya berdecak senang, “Ah, kita beruntung punya Pak udin!”
Ryan tersenyum lagi, tanpa sadar ia mengacak rambut Nadya yang lebih pendek darinya gemas. Begitu Nadya menatapnya aneh ia langsung menyingkirkan tangannya. Mengerjab salah tingkah.
“Ntar sore, mau pulang bareng gue lagi gak nad?”
Nadya berpikir sejenak.
Sepertinya membiarkan Farel pulang bareng Thira hari ini bukanlah ide buruk.
“Sekalian gue mau ajak lo ketempat pameran lukisan deket rumah gue.”
Nadya menggangguk. Menyetujui tawaran Ryan untuk kesekian kalinya.
“Kalo Farel ngizinin, boleh aja,” jawab Nadya tersenyum membuat matanya melengkung seperti bulan sabit lagi.
Disini, di taman bunga di atap sekolah. Ryan tertawa lebar pertama kalinya sejak lama. Tertawa geli mendengar lelucon yang di celotehkan gadis itu.
Dan untuk pertama kalinya sejak lama, seseorang mengetahui dan memuji lukisannya.***
KAMU SEDANG MEMBACA
MY FATE
Teen FictionTentang kehidupan Nadya, gadis yang trauma dengan suara sirine ambulans. Tentang kehidupannya bersama takdir.