16. one taught me pain

4.5K 897 147
                                    

Changbin tiba di kediaman Felix ketika jam menunjukan pukul enam lebih tigapuluh menit. Anak itu memarkirkan kendaraan roda duanya di samping motor besar putih yang ada di halaman depan rumah Felix. Itu motor Jeno setahu Changbin, dia sempat melihatnya ketika Jeno menjemput Felix di sekolahnya beberapa hari yang lalu.

Changbin menaiki tangga kecil yang menghubungkan antara teras rumah dengan halaman depan, di tekannya bel rumah Felix dan tidak butuh waktu lama, Ibu Felix keluar dengan masih menggunakan setelan formalnya. Perempuan itu masih tampak cantik meskipun kerutan di pipinya sudah sangat tampak jelas, Changbin sekarang mengerti darimana asalnya senyum Felix yang begitu cantik setelah melihat perempuan di depannya tersenyum.

"Zibran ya?" Changbin mengangguk sopan sambil tersenyum tipis. "Ayo masuk, Felix lagi di kamar. Nunggunya di dalem aja,"

Anak itu menurut, mengikuti perempuan itu dari belakang setelah mengucapkan salam. Rumah Felix terlihat sederhana, berwarna dasar biru muda dengan berbagai ornamen khas seperti guci besar ada di ujung ruangan. Foto sewaktu Felix kecil yang menggantung di dinding tidak luput dari perhatian Changbin, dia tersenyum lugu ketika melihat salah satu foto masa kecil Felix yang tengah tersenyum.

"Duduk sini nak, Ibu mau manggil dulu Felix." Changbin mengangguk dan duduk di salah satu sofa besar ruang tamu Felix.

Manik Changbin tidak lepas memperhatikan setiap foto yang menghiasi dinding rumah Felix, ada foto Felix bersama Jeno, ada juga foto Felix dengan seorang perempuan yang terlihat sangat mirip dengannya. Mungkin saudaranya yang lain, atau Felix diam-diam punya kebaran, hanya itu yang bisa Changbin pikirkan.

"Hey." Felix datang dari arah tangga dengan tangan yang sibuk membenahi rambut coklat terangnya. Wajahnya bengkak, seperti baru bangun tidur dengan baju yang sedikit acak-acakan.

Namun Changbin tetap tersenyum kecil, apalagi saat Felix duduk tepat di sampingnya dan sedikit mengusap pipi tirusnya sebelum membawa tangannya masuk kedalam saku hoodienya.

"Baru bangun tidur?"

"Hehe, iya tadi ketiduran pas nungguin lo." Felix tertawa canggung, punggungnya bersandar pada sandaran sofa di belakangnya. Felix mencoba rileks.

"Jadi?" Alis Changbin tertaut, Felix mengerti gestur tubuh dari cowok di depannya.

"Sebelumnya gue minta maaf, udah nyembunyiin semuanya dari lo. Gue--"

"Lo sakit apa, Fe?" Tanya Changbin yang langsung membuat Felix terdiam kaku. "Gini deh, dari skala satu sampai sepuluh, seberapa parahnya sakit lo?"

"Delapan koma lima," balas Felix, nada bicaranya pelan sampai Changbin harus sedikit mendekat kearahnya agar tidak salah dengar.

Dan Changbin tidak tahu harus bereaksi seperti apa ketika Felix menyebutkan angka itu lagi, delapan koma lima dari skala sepuluh. Changbin tertawa kecil, tawa yang terdengar memilukan di telinga Felix.

"Gue gak marah, Fe." Changbin meraih kedua tangan Felix kemudian menggenggamnya lembut. Mencoba menyalurkan perasaannya lewat genggaman hangat itu. "Kenapa lo gak cerita semuanya dari awal? Lo anggep gue apa selama ini?"

"Maaf Bran, gue--"

"Iya, gue ngerti." Potong Changbin cepat, dia menarik tubuh kecil di depannya agar masuk kedalam pelukan hangatnya. Betapa rindunya Changbin pada tubuh dan parfum Felix yang satu dua dengan parfum keponakannya yang masih bayi, untuk sekarang Changbin tidak mau memikirkan hal lain lagi.

Dia merasa sangat cukup ketika Felix ada di dalam dekapan hangatnya, Changbin merasa seperti di rumah. Begitu merasa pas ketika Felix ada di dekatnya.

Shoot! [changlix] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang