DUA

7.4K 427 31
                                    

Air mata Sekar sudah merebak di pelupuk mata, ketika mengingat ia bahkan tidak dibiarkan melihat jenazah Bapak untuk terakhir kalinya. Kenangan buruk masa lalunya berkumpul di kota ini, dadanya rasanya mau meledak oleh rasa sakit yang menyesakkan. Isakannya hampir lolos kalau saja ponsel dalam tasnya tidak bergetar.


Kembali menelan tangisnya, tangan Sekar membuka tas dan mengambil benda pipih persegi yang terus bergetar. Nama Bos Sadis berkedip-kedip di layar. Setelah menghela napas panjang untuk mengisi paru-parunya yang sesak, Sekar menggeser tombol jawab dan langsung mendapat semburan dari bosnya tersebut.

"Ke mana saja kamu, Sekar? Dari tadi panggilan saya tidak kamu angkat, pesan saya pun tidak ada satu pun yang kamu baca!"

"Hallo, selamat siang, Pak," jawabnya sarkas, "Saya baru saja sampai di Batang beberapa menit yang lalu. Bapak butuh sesuatu?"

"Bukankah sudah saya bilang, sebelum pergi tinggalkan cetak biru di meja saya. Kenapa malah kamu bawa serta?!"

Seketika Sekar melupakan kesedihannya, hatinya kini diliputi kekesalan mendengar ucapan orang yang sudah dua tahun menjadi bosnya tersebut.

"Bukankah sudah saya letakkan di meja Bapak setengah jam sebelum saya berangkat?" Sekar mencoba tetap menjaga suaranya agar tetap tenang dan terdengar ramah meski sebenarnya ingin sekali mengumpati bosnya itu.

"Tidak ada! Buka tasmu dan lihat sekarang juga!"

Sekar mengembuskan napas jengkel. "Pak, mana mungkin cetak biru sebesar itu bisa muat dalam tas saya."

"Kalau gitu kopermu. Lekas Sekar, itu cetak besok akan dibawa untuk peresmian proyek Jambi!"

"Saya masih di dalam taksi, Pak. Bagaimana mungkin harus membongkar koper saya?"

"Saya tidak mau tau, Sekar. Lakukan perintah saya, lima menit waktumu, setelah itu hubungi saya kalau cetak biru itu ada padamu." Dan sambungan pun dimatikan secara sepihak sebelum Sekar menjawab kalimat terakhir bosnya.

Sekar mengelus dada mencoba menyabarkan diri. Kalau saja Sekar tidak butuh kerjaan ini, lebih baik keluar dan mencari kerjaan lain daripada punya bos sadis seperti Lukman Al Hakim. Sayangnya apartemen yang ia tinggali di Jakarta serta mobil avanza bekasnya masih harus dicicil untuk setahun ke depan. Ia juga harus menabung sebanyak-banyaknya untuk hari tuanya agar terus bisa hidup. Meski di desa ini keluarganya masih ada, tapi sejatinya sekar hidup sebatang kara. Makanya ia harus bekerja ekstra keras, berhemat dan banyak menabung agar tidak menjadi gelandangan kelak jika ia sudah tidak dapat bekerja lagi.

Meski tersiksa lahir batin, tetapi dua tahun menjadi asisten Lukman Al Hakim ternyata  cukup menguntungkan. Gajinya jauh lebih besar dibanding di tempat kerja Sekar sebelumnya sehingga ia dapat menabung banyak. Salah satu alasan mengapa ia tetap bertahan meski harus menghadapi sikap bosnya yang selalu menguras emosi dan menguji kesabarannya.

Dengan dibantu sopir taksi yang mengambilkan koper miliknya dari bagasi, Sekar membuka resleting kopernya dan mendapati cetak biru sialan itu ada di sana.

Bagaimana bisa? Sekar jelas ingat, sambil menyeret kopernya sebelum berangkat ia meletakkan cetak biru tersebut di atas meja kerja Lukman, tapi mengapa tiba-tiba bisa berada di dalam kopernya.

Belum sempat mendapat jawaban keheranannya, ponselnya kembali bergetar. Bos Sadis kembali berkedip-kedip di layar.

"Lima menit lebih sepuluh detik dan kamu belum juga menghubungi saya!"

Allahu akbar! Sekar ingin sekali menjerit menyumpahi bosnya. Lebih sepuluh detik? Panjangkan ususku, Ya Rabb.

"Baru saya cek, Pak. Cetaknya memang ada di koper saya, tapi saya ingat jelas sebelum pergi saya--"

"Kalau begitu sekarang juga kamu ke Jogja, Rudi akan mengambilnya untuk peresmian besok!" potong bosnya cepat.

"Pak, belum ada sehari saya mengambil cuti saya--"

"Ini kerjaan, Sekar, kerjaan! Jauh lebih penting daripada liburanmu. Kamu bisa menukarnya lain waktu."

Liburan katanya? Demi Tuhan, kekesalan Sekar rasanya semakin memuncak. Dalam dua tahun ini Sekar sama sekali belum pernah mengambil cuti. Bagaimana ia dapat cuti sementara bosnya tiada henti memberinya pekerjaan. 24 jam sehari dan tujuh hari dalam seminggu tanpa libur. Selalu saja ada kerjaan yang diberikan Lukman padanya. Kalau bukan karena Andhini yang terus meneleponnya secara rutin seminggu terakhir untuk mengingatkan Sekar agar tidak lupa hadir pada pesta pernikahannya, Sekar tidak mungkin meminta cuti. Itu pun hanya dua hari yang diberikan Lukman. Namun, pria kejam itu sudah langsung memberinya perintah dalam waktu kurang dari 24 jam ia mengambil jatah cutinya dan membuatnya terancam tidak jadi menghadiri acara pernikahan sahabatnya.

"Alamat mana yang harus saya tuju?" tanya Sekar akhirnya, ia merasa percuma mendebat bosnya. Tidak akan menang.

"Kamu naik kereta dan turun di stasiun Lempuyangan. Kalau sudah selesai kirim kabar biar orang saya menjemputmu." Lalu sambungan kembali dimatikan secara sepihak.

Sekar menghela napas lelah. "Kembali ke stasiun, Pak." ujarnya kemudian pada sopir taksi. Ia nanti akan menelepon Andhini dan meminta maaf tidak menghadiri acara pernikahannya. Andhini pasti akan memahami alasannya, ia sudah sering mendengar keluhan Sekar mengenai sikap bosnya yang suka seenaknya sendiri.

Sang Muhallil (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang