ENAM

5.2K 445 43
                                    

Dari semua tempat yang terpikirkan oleh Sekar untuk kemungkinan bertemu dengan mantan suaminya, Jogja tidak termasuk menjadi salah satunya. Apa lagi di kediaman keluarga Lukman, dan mereka mengenal satu sama lain.Ternyata dunia ini benar-benar sangat sempit.

Bayangan Gus Hamzah tengah berjalan melewati asrama santri putri menuju kelas untuk mengajar sambil membawa beberapa kitab kembali hadir seperti kaset yang diputar ulang. Sarungnya berkibar ditiup angin dengan peci putih bertengger di atas kepalanya semakin menambah ketampanannya yang membuat para santri putri berdecak kagum.

Itu sudah lama berlalu, Sekar. Batinnya memperingatkan. Tujuh tahun telah berlalu, namun sosok laki-laki di depannya itu masih setampan dulu, hanya saja penampilannya jauh lebih berantakan. Jambangnya dibiarkan tumbuh lebat dan kasar, sementara tubuhnya jauh lebih kurus dari terakhir yang diingat Sekar. Matanya yang redup tak bercahaya menatap sayu pada Sekar. Ia terlihat sangat menderita. Mungkinkah pernikahan ke duanya tidak bahagia?

Sejak menuruti Einsteina untuk jalan-jalan, Hamzah tak berhenti mencuri pandang padanya. Sekar jelas dapat merasakannya, tetapi ia pura-pura tidak tahu. Laki-laki tersebut terlihat ingin sekali mengatakan banyak hal padanya, tetap ditahannya karena ada Einsteina bersama mereka. Namun, sebelum keluar dari Resoinangun Garden mereka berpapasan dengan Khodijah—kakak sepupu Einsteina yang sedang berlibur bersama keluarga kecilnya. Einsteina ngotot mau ikut bersama kakaknya tersebut sehingga mau tak mau akhirnya Sekar hanya berdua dengan Hamzah.

Sialnya laki-laki itu tidak membawanya pulang langsung, melainkan membawanya ke sebuah pantai di Gunung Kidul. Sebenarnya Sekar ingin sekali langsung pulang, ia belum siap harus berhadapan dengan mantan suaminya ini, tetapi Hamzah bersikeras mampir sebentar sehingga mau tak mau ia mengikutinya saja daripada terlibat perdebatan konyol di tempat umum. Kini di sinilah mereka, berdiri saling berhadapan di pantai berpasir putih dengan angin cukup kencang mengibarkan sarung Hamzah yang membuat ingatan masa lalunya kembali hadir.

“Sekar,” panggil Hamzah di antara deburan ombak. Sekar dapat merasakan suaranya bergetar, Hamzah menatapnya dengan sorot milik seorang pesakitan. Sekar melengos, tak kuasa menatap sosok yang telah menorehkan luka di hatinya tersebut. “Apa kabar?”

Mau tak mau Sekar kembali menatap Hamzah. Ia menekan luka hatinya kuat-kuat agar tidak memperlihatkan kesakitannya. Pertahanannya nyaris roboh, ia ingin menangis mendengar suara penuh kerinduan milik mantan suaminya. Tujuh tahun Sekar membentuk banteng pertahanan untuk menghadapi Hamzah sewaktu-waktu, tapi ternyata tidak sekokoh dugaannya. Sekar masih mencintainya, sangat mencintainya sehingga rasanya begitu menyakitkan.

“Saya baik.” Ia bahkan dapat merasakan jika suaranya seperti cicitan tikus. Ke mana ketegasan dan wibawanya yang selalu dibanggakannya? Menghadapi Hamzah rasanya seperti menelan seluruh kepercayaan dirinya.

“Di mana kamu selama ini, Sekar? Tujuh tahun saya mencarimu kemana-mana.”

Untuk apa Hamzah mencarinya sementara ia sudah menikah lagi dengan wanita lain setelah membuang Sekar. Sekar menggigit bibir dalamnya menahan tangisnya. “Ada banyak sekali hal yang harus kita bicarakan,”

Demi Tuhan, Sekar rasanya ingin berlari sejauh mungkin. Ia tidak sanggup melihat tatapan Hamzah yang berkaca-kaca. Mengapa laki-laki ini terlihat begitu menderita? Seharusnya Sekar yang pantas terlihat seperti itu, setelah sikap yang diterimanya dari Hamzah di masa lalu.

Setelah tujun tahun menata hati, rupanya Sekar masih juga belum sanggup menghadapi pertemuan ini. “Maaf, Gus, saya rasa—“

“Tolong, Sekar. Saya minta maaf sudah membuatmu—“ Tidak! Sekar tidak ingin mendengar apa pun perihal masa lalunya. Ia belum siap membahas luka hatinya dengan sosok yang menorehkannya.

Sekar menggeleng tegas, menolak apapun yang ingin diucapkan oleh Hamzah. Dan, ia belum pernah merasa selega ini melihat Lukman berjalan ke arahnya. Entah bagaimana bosnya bisa tahu ia berada di sini.

Lukman menghentikan langkah begitu melihat Hamzah di sana, “Di mana Einsteina?” mata tajamnya menatap mereka secara bergantian, jelas menyadari ekspresi penuh kesedihan Hamzah.
Sekar berdeham membersihkan tenggorokannya yang tercekat. “Saya pikir Anda sudah berangkat, Pak. Ina merengek pada saya untuk ikut dengan Khodijah dan keluarganya,” jawabnya sambil mengerjapkan mata, mengusir rasa panas di sana.
“Bagus, kalau begitu kamu langsung ikut saya.”

“Ke mana, Pak?”

“Ke Jakarta.”

“Anda bilang saya harus mendampingi Ina sampai dia lahiran?”

Lukman mengangkat sebelah alisnya dan menatap tajam Sekar. “Jadi, kamu lebih suka di sini?”

Sekar buru-buru menggeleng. “Baik, Pak. Saya ikut ke Jakarta.”

“Saya tunggu di parkiran.“ Sebelum beranjak Lukman menghampiri Hamzah dan menepuk bahunya. “Kamu bisa kembali langsung, Ham. Terima kasih sudah menemani mereka.”

“Sekar,” panggil Hamzah saat Sekar berbalik hendak menyusul Lukman yang sudah terlebih dahulu beranjak.

“Saya harus pergi, Gus,”

Hamzah menghela napas panjang. Matanya yang diliputi kesedihan menatap Sekar lekat. “Baiklah, tapi saya bersumpah akan mencarimu, Sekar. Kali ini saya akan menemukanmu, dan kita akan bicara,” janji Hamzah sungguh-sungguh.

Sekar menggeleng tegas, “Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, semua sudah selesai. Permisi.” Tanpa memedulikan panggilan Hamzah, Sekar langsung berbalik, setengah berlari menyusul Lukman yang sudah berjalan menjauh.  Di belakangnya, Hamzah mengikutinya. Namun, laki-laki itu hanya terpaku di pinggir jalan menatapnya saat ia memasuki mobil Lukman.

Lukman mulai melajukan mobilnya dengan lambat meninggalkan area parkiran. Dari ekor matanya Sekar dapat melihat Hamzah mematung di tempatnya, menatap mobil yang berlalu dari hadapannya dengan ekspresi penuh kesedihan.
Hati Sekar ikut bersedih. Ada keinginan untuk turun dari mobil, kembali menghampiri sosok yang sangat dicintainya itu dan menyetujui keinginan Hamzah untuk bertemu dan berbicara, tetapi logikanya melarang keras. Ia tidak akan membiarkan kelemahan menguasainya.

“Ehm, seseorang yang sangat spesial sepertinya,” celutuk Lukman menyadarkan lamunan Sekar. Wanita itu langsung memasang kembali wajah datarnya.

“Apa?”

“Hamzah.”

“Oh, tetangga di kampung,” jawabnya asal. Lukman tidak lagi menimpali, tetapi mata laki-laki itu meliriknya diam-diam, memerhatikan setiap perubahan ekspresi Sekar dari samping. Meski wanita itu berusaha menampilkan air mukanya yang datar, tapi Lukman dapat melihat gejolak batinnya melalui mata Sekar yang bergerak-gerak resah. Biar bagaimana pun Lukman adalah seorang pria dewasa yang sudah berpengalaman, tidak mudah membohonginya.

Ada luka yang cukup dalam yang berusaha disembunyikan Sekar. Lukman sama sekali tidak tahu apa yang terjadi pada wanita itu, tapi sorot itu sama sekali tidak dapat menyembunyikan apapun. Dari sini Lukman tahu, Sekar bukanlah seorang wanita yang kuat. Ketegasan dan wibawanya yang selama ini diperlihatkannya hanyalah topeng untuk menyembunyikan kelemahannya.

Diam-diam Lukman kembali melirik wanita yang duduk di sampingnya, mencoba membaca keresahan yang berusaha disembunyikannya.

Sang Muhallil (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang