TIGA

6.7K 442 44
                                    

Mobil memasuki gerbang Pesantren Miftahul Ulum yang tinggi menjulang melewati dua pos penjagaan. Dari dalam mobil Sekar menyaksikan pemandangan yang membuatnya rindu akan kampung halaman. Para santri putra hilir mudik sambil menenteng kitab, sarungnya melambai ditiup angin. Sementara dari arah berlawanan para santri putri membentuk beberapa gerombolan, mereka berjalan di pinggir jalan yang dilalui mobil Sekar sambil bersenda gurau, jilbabnya yang membingkai wajah-wajah ayu nan teduh sesekali berkibar ditiup angin. Tujuan mereka sama, yaitu masjid.

Di depan sana tampak bangunan masjid yang besar dan megah sudah dipenuhi santri yang membeludak. Ingatan Sekar kembali ke kampung halamannya, di mana ketika ia menghabiskan waktunya di pesantren Darul Amanah. Setiap sore rutin mengikuti ngaji bandongan atau ngaji kuping.

Para santri putri akan bisik-bisik dengan pipi memerah setiap Gus Hamzah datang sambil menenteng kitab untuk mengisi pengajian menggantikan Sang Abah yang berhalangan. Sekar tidak akan pernah lupa, sosok tampan idaman seluruh santri putri Darul Amanah—bahkan para ibu-ibu tetangga turut mengidolakannya, berharap dapat menjadikannya menantu—itu berjalan dari ndelem menuju masjid dengan diiringi tatapan kagum oleh seluruh santri putri. Dalam balutan koko putih yang semakin mempertajam aura ketampanannya, dengan peci hitam bertengger gagah di kepala, serta sarung palekatnya yang berkibar ditiup angin menjadi pemandangan paling indah yang selalu dinanti-nanti oleh seluruh santri, tak terkecuali Sekar.

Menjadi hari patah hati berjamaah ketika Gus Hamzah beserta keluarganya tiba-tiba datang melamarnya. Sekar merasa seperti ketiban durian runtuh, seluruh santri cemburu padanya. Kenangan yang sangat membekas di hati Sekar tersebut harusnya menjadi kenanangan yang sangat indah, kalau saja tidak ada peristiwa yang membuatnya kehilangan segalanya.

“Sudah sampai, Bu.” Ucapan Roy, anak buah Lukman yang menjemputnya di stasiun menyadarkannya dari lamunan.

“Pak Lukman tinggal di sini?” tanyanya seraya membuka pintu mobil.

“Iya, Bu. Sebentar lagi beliau akan pensiun dan menunjuk pengganti, makanya sekarang lebih sering menghabiskan waktu di sini.”

Sekar urung turun dari mobil, ia kembali menutup pintu. “Maksudnya Pak Lukman sudah tidak akan memimpin perusahaan lagi?”

“Betul, Bu, beliau ingin menghabiskan waktu untuk keluarganya. Apa lagi Nona sebentar lagi akan melahirkan, beliau ingin bermain bersama cucunya sambil mengajar di pesantren untuk memenuhi permintaan Romo Yai.”

“Romo Yai?”

“Ayah Pak Lukman, Bu. Beliau pengasuh pesantren Miftahul Ulum bersama putra sulungnya Kyai Abdul Fatah”

Sekar termangu mendengar penjelasan Roy. Ia sama sekali tidak menyangka bosnya yang ototriter dan suka seenaknya sendiri ternyata seorang Gus. Sekar hanya tahu kalau Einsteina memang menikah dengan putra seorang kyai dari Magelang, suaminya kini sedang menempuh pendidikan S3 di Madinah. Tak heran perempuan bermata biru itu selalu ngekor ke mana pun ayahnya pergi.
Sekar turun dari mobil begitu Roy membukakan pintu untuknya dan langsung disambut suasana teduh di sekeliling. Mereka berhenti tepat di sebuah halaman rumah yang sangat luas dan teduh oleh pepohonan. Tak jauh di sana, tepatnya di depan masjid yang ramai oleh para santri terdapat sebuah lapangan cukup besar yang difungsikan sebagai helipad.

“Kopernya biar saya bawakan, Bu Sekar langsung masuk saja. Sepertinya Pak Lukman masih di dalam.” Sekar mengangguk, setelah menyambar tas tangannya ia langsung berjalan melewati halaman yang sejuk tersebut.

Tidak seperti rumah Lukman di Jakarta yang sangat mewah, rumah ini justru lebih sederhana namun terlihat sangat nyaman. Tamannya bukan jenis taman yang didesain arsitek terkenal seperti taman rumahnya di Jakarta, tidak pula tersentuh perawatan mahal dari tangan-tangan profesional. Namun, Sekar dapat merasakan jika taman sederhana yang dipenuhi berbagai macam bunga tersebut dirawat dengan sepenuh hati oleh orang yang benar-benar mencintai bunga. Ia tahu karena ibunya dulu sangat menyukai bunga.

Sang Muhallil (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang