SEPULUH

7.2K 536 42
                                    

Dalam sehari ini entah sudah berapa kali Sekar menolak panggilan dari Bu Dova, wanita itu masih sangat kesal meski ucapan Einsteina selalu terngiang di telinganya. “Jangan menyalahkan Tante Dova, Tante, semua salah Ina. Ina yang meminta Tante Dova untuk mengirim Tante Sekar pada Papa.”

Sekar sama sekali tidak menyangka ternyata Mardova memang mempunyai maksud tertentu dengan mengirimnya bekerja pada Lukman. Wanita itu ingin menjodohkannya dengan Lukman. Sekar menarik napas berat, permintaan Bu Aisyah dan Einsteina memenuhi pikirannya. Bagaimana ia bisa menikah dengan Lukman sementara hatinya sepenuhnya masih dibawa oleh mantan suaminya?

Tentu saja Sekar tidak bisa. Pengalaman pahitnya di masa lalu cukup membuatnya tidak ingin kembali menjalin hubungan dengan laki-laki mana pun. Tidak untuk sementara atau pun selamanya. Ia tidak ingin terluka untuk ke dua kalinya.

Ponselnya kembali menjerit, nama Bu Dova berkedip-kedip di layar. Lagi-lagi Sekar mengabaikannya. Einsteina pasti sudah menghubungi Bu Dova, biar saja wanita itu panik dan mengira Sekar marah padanya. Secara bersamaan, telepon di sampingnya juga berdering, Sekar meraih gagang telepon dan mengangkatnya. Suara Hesti, petugas resepsionis langsung menyapanya.

“Selamat siang, Bu Sekar. Seseorang ingin bertemu dengan Anda, tetapi belum membuat janji. Dia bersikeras ingin menunggu.”

“Apakah saya mengenalnya?” tanya Sekar.

“Dia bilang Bu Sekar mengenalnya. Ada keperluan mendesak hingga tidak sempat mengabari kedatangannya, begitu katanya, Bu.” Sekar melirik jam di pergelangan tangannya, masih ada waktu lima menit sebelum jam istirahat tiba, tidak ada salahnya ia menemuinya.

“Baiklah, kalau begitu tolong tanyakan namanya.” 

Di seberang sana, terdengar Hesti tengah berbicara dengan seseorang. Sekar menunggu.

“Hamzah, Bu, namanya Hamzah Ali Alauddin.”

Tangan Sekar seketika menegang, mencengkeram erat gagang telepon. Hanya dengan mendengar nama tersebut ia langsung berkeringat dingin, jantung Sekar berdetak kencang. Untuk apa Hamzah mencarinya kemari?

“Hallo, Bu, apakah Bu Sekar bersedia menemuinya?” Suara Hesti memanggilnya beberapa kali. Dengan tergagap Sekar mengiyakannya. Wanita itu meletakkan telepon ke tempatnya, kemudian menyentuh dadanya sambil memejamkan mata. Hamzah membuktikan ucapannya untuk menemukan Sekar. Dan, Sekar merasa tidak siap untuk memulai pembicaraan dengan laki-laki tersebut, tidak dengan jarak waktu hanya beberapa hari sejak ia meninggalkan kota Jogja. Namun, demikian ia tetap bangkit dari kursinya dan beranjak untuk menemui mantan suaminya tersebut.

Tepat saat itu pintu ruangan Lukman terbuka dan muncul laki-laki tersebut. Pandangan mereka bertemu, ada rasa canggung di antara keduanya setelah kejadian memalukan kemarin di kamar mandi Lukman. Sekar menjadi orang pertama yang membuang muka dan kembali meneruskan langkah.

“Saya ada janji makan siang dengan klien, tapi Aldo berhalangan. Apa kamu mau menggantikannya menemani saya?” tanya Lukman menghentikan langkah Sekar. Wanita itu membalikkan badan menghadap Lukman, sejenak ia hanya menatap Lukman tanpa menjawab pertanyaannya. Kemudian setelah menghela napas, Sekar menggeleng pelan.

“Maaf, Pak. Saya sudah terlanjur ada janji dengan seseorang. Anda mengatakannya secara mendadak.”

Lukman mengangguk-anggukkan kepala, “Baiklah, kalau begitu saya bisa pergi sendiri.”

Sekar tak lagi menjawab, wanita itu bergegas melangkah meninggalkan Lukman yang memandangi punggungnya hingga menghilang. Tak lama kemudian Lukman juga ikut melangkah keluar.

Sang Muhallil (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang