SEMBILAN

5.9K 466 29
                                        


Azan magrib sudah lama lewat saat Sekar keluar dari kamarnya setelah membersihkan diri dan melaksanakan salat magrib. Bertelanjang kaki, ia berjalan ke dapur menghampiri kegaduhan di sana. Ternyata Einsteina tengah membantu Mak Jum mempersiapkan makan malam, mengabaikan omelan Bu Aisyah yang tengah mengupas buah mangga. Mereka ternyata baru saja datang dari Jogja dengan diantar oleh Roy, Sekar melihat laki-laki itu baru saja membawakan dua koper milik mereka ke dalam.

Sekar melangkah menghampiri keduanya. Ia sama sekali belum sempat berbicara dengan mereka setelah insiden memalukan di kamar mandi milik Lukman. Sekar bermaksud memberikan penjelasan kepada dua wanita tersebut.

“Selamat malam, Bu Aisyah,” sapa Sekar ikut duduk di samping Bu Aisyah dan membantu mengupas buah mangga. Melihat kedatangan Sekar, Einsteina langsung meletakkan wajannya dan ikut menghampiri mereka.

“Kirain Tante Sekar gak akan keluar, dari tadi kita tungguin gak muncul-muncul,” ujarnya, duduk mengapit Sekar di antara Bu Aisyah dan dirinya.

“Tante habis membersihkan diri dan salat magrib, Ina.” Sekar menghela napas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya, “Bu Aisyah dan Ina, saya ingin menjelaskan kejadian tadi—“ Sekar terdiam sesaat menunggu reaksi dari kedua wanita tersebut.

Einsteina tampak diam menyimak, sementara Bu Aisyah sama sekali tidak menatapnya. “Kalian harus menikah,” putusnya tanpa melihat Sekar sedikit pun, tangannya masih sibuk mengupas buah mangga.

“Bu, itu tidak seperti yang Ibu pikirkan. Pak Lukman hanya menolong saya agar tidak jatuh saat terpeleset di kamar mandi, hanya sebatas itu. Tidak ada hal apa pun yang terjadi. Tolong percayalah sama saya, Bu,” pinta Sekar memohon.

Bu Aisyah meletakkan pisaunya dan menatap tajam Sekar, membuat wanita itu menunduk tak berani mengangkat kepala. “Kalian sadar jika tindakan kalian dapat menimbulkan fitnah? Yang kamu ucapkan bisa saja benar, tapi orang lain yang melihatnya jelas akan salah sangka.” Sekar mengangguk membenarkan.

“Saya minta maaf, Bu. Saya yang salah memaksa untuk melayani semua kebutuhan pribadi Pak Lukman—“

“Semua bukan salah Tante, Tante Sekar hanya menjalankan tugas dari Tante Dova, ya kan?” potong Einsteina. Sekar mengangkat kepalanya menatap perempuan cantik bermata biru tersebut dengan heran, bagaimana Einsteina dapat mengetahuinya.

Einsteina terseyum manis dan berujar, “Ina percaya sama Tante Sekar, tapi Tante bener-bener harus nikah sama Papa.”

“Mengapa?”

Einsteina menghela napas sedih, “Maafin Ina sama Eyang, Tante. Ini satu-satunya cara untuk membuat Papa menikah. Tolong Ina, menikahlah sama Papa dan jadilah Mama untuk Ina,” pinta Einsteina sungguh-sungguh, matanya menatap Sekar dengan sarat akan permohonan.

“Ina—“

“Tolonglah, Nak Sekar. Ibu memohon padamu, menikahlah dengan Lukman. Ibu tahu sangat  tidak pantas untuk mengajukan permintaan seperti ini padamu, tapi Ibu sudah sangat lama menunggu semenjak meminta tolong pada Mardova untuk membawamu pada putra Ibu—”

***

Sekar menarik napas dan mengembuskannya berkali-kali, kebiasaannya untuk menenangkan diri saat resah. Namun, kali ini tidak berhasil, keresahan di hatinya tak juga hilang. Ia sama sekali tidak menyangka, keputusan Bu Dova—mantan bosnya yang kini sudah pensiun dari dunia hiburan dan memilih tinggal seorang diri di daerah terpencil di Magelang—mengirimnya untuk bekerja pada Lukman ternyata memang ada maksud tertentu yang sudah direncanakan matang. Sekar masih ingat bagaimana awal mulanya ia bekerja pada Lukman.

Sang Muhallil (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang