Sekar turun dari mobil diikuti Lukman setelah mereka memarkirkan mobil di basement salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Jakarta. Sekar berjalan mendahului Lukman mengabaikan ekspresi keberatan pria itu.
“Kamu yakin membawa saya ke tempat ini? Memangnya tidak ada tempat lain selain tempat umum penuh keramaian begini?” Mereka berjalan memasuki lift.
“Memangnya saya harus membawa Anda kemana?”
“Pesan saja secara khusus, kalau perlu minta desainer untuk merancangnya.” Lukman mendengus begitu pintu lift terbuka menampakkan keramaian di sana.
“Demi Tuhan, Anda hanya membutuhkan pakaian bayi, bukan gaun pengantin untuk pernikahan!”
“Kenapa tidak kalau saya mampu melakukannya.” Sekar memutar bola matanya sebal. Dasar sombong!
“Keramaian benar-benar membuat saya pusing,” gerutu Lukman sangat dekat di telinga Sekar. Sekar menyadari kalau mereka menjadi pusat perhatian, beberapa saling berbisik begitu keduanya lewat. Berbeda dengan Sekar yang tampak asing dengan situasi seperti ini, Lukman justru tenang saja seolah sudah terbiasa menjadi pusat perhatian.
“Jangan banyak mengeluh, Pak. Keramaian membuat Anda menjadi pusat perhatian, dan sepertinya Anda sangat menikmatinya,” sindir Sekar sinis.
“Saya tidak menikmatinya. Itu hal yang wajar ketika kamu berjalan dengan seorang Lukman Al Hakim,” jawabnya jumawa. Sekar hanya mendengus, memilih untuk tidak menanggapinya. Ia berjalan menuju toko perlengkapan bayi, diikuti Lukman di belakangnya.
Hari ini mereka tidak ada pekerjaan penting yang menahan diri di kantor. Lukman secara resmi akan mulai pensiun bulan depan, ia sudah menunjuk Rudi sebagai penggantinya sehingga laki-laki tersebut bisa bersantai. Seharusnya Lukman tidak perlu buru-buru membawanya ikut serta ke Jakarta, toh semua pekerjaan sudah ada yang menghandel. Namun, sikap Lukman saat menemuinya di pantai seolah-olah seperti ada sesuatu yang darurat sehingga ia sendiri yang menyusul Sekar dan langsung membawanya ke Jakarta melalui perjalanan darat.
Ya, Lukman menyopir seorang diri dari Jogja ke Jakarta. Bisa dibayangkan betapa lelahnya menempuh perjalan selama 13 jam lebih tanpa sopir pengganti. Lukman tidak membiarkan Sekar bergantian menyopirinya.
“Heli sudah dibawa Roy untuk mengantarkan Rudi,” jelasnya waktu itu tanpa diminta.
Sekar pikir keadaannya sangat darurat sampai Lukman nekat menempuh perjalanan darat tanpa menunggu Roy kembali. Nyatanya tidak demikian. Setelah sampai di rumah mewahnya hampir tengah malam, Lukman hanya berpesan untuk menemaninya berbelanja keperluan bayi untuk Einsteina besok pagi-pagi. Tidak ada pekerjaan penting yang harus dikerjakan. Lukman membawa Sekar turut serta ke Jakarta hanya untuk kegiatan tidak terlalu penting yang sebenarnya bisa dilakukannya di Jogja. Benar-benar menyebalkan bukan?
Tak lama kemudian mereka sudah menenteng kantong-kantong berisi belanjaan, Sekar mengajak Lukman menaiki eskalator menuju lantai atas untuk mencari barang-barang lain yang dibutuhkannya. Begitu keduanya tiba di sana, Sekar mendapati seorang anak laki-laki berusia sekitar tujuh tahun tengah menangis sendirian sambil memegangi es krimnya yang sudah meleleh sebagian.
Mengabaikan Lukman, Sekar menghampirinya dan berjongkok di depan anak tersebut. “Hai, kenapa menangis?” tanyanya ramah. Tangis bocah tersebut semakin keras, Sekar memegang bahunya lembut.
“Raja terpisah dari Mama,” jawabnya di sela-sela tangisnya.
“Jadi, namamu Raja, ya?” Bocah tersebut mengangguk, tangannya menyeka air matanya.
“Raja jangan menangis. Ayo, Tante bantu cariin Mama,” ajak Sekar menggandeng tangan kecil Raja.
“Beneran, Tante?” Mata bulatnya menatap Sekar penuh harap. Sekar tersenyum dan mengangguk, seketika Raja menghentikan tangisnya. Ia balas menggenggam tangan Sekar erat. Sekar berpaling pada Lukman yang tengah memerhatikan interaksi tersebut dari tempatnya berdiri.
“Anda tidak keberatan kalau saya mengantarkan anak ini ke petugas keamanan, atau mau langsung pulang biar saya yang mencari box bayi sendiri?” tanyanya.
Masih tidak melepaskan tatapannya pada wanita tersebut, Lukman menggeleng tegas. “Tidak, saya ikut bersamamu.” Ketiganya berjalan bersisian dengan Raja di tengah-tengah diapit oleh Sekar dan Lukman.
Bagi yang tidak tahu pasti akan mengira mereka adalah keluarga kecil yang bahagia, sepasang suami istri dengan seorang anak laki-laki yang tampan.
Baru beberapa langkah, terdengar suara seseorang menyerukan nama Raja. Sekar dan Lukman berhenti berjalan. Di belakang tampak seorang wanita modis berlari-lari ke arah mereka diikuti seorang satpam.
“Ya ampun, Raja, Mama cariin ke mana-mana,” omel wanita tersebut sambil mendekap Raja erat.
“Raja juga nyariin Mama, untung ada Tante baik hati yang mau bantu nyariin Mama.” Wanita tersebut melepas pelukannya dan ganti menatap Sekar dengan pandangan penuh terima kasih. Belum sempat mengucapkan apa pun pada Sekar, matanya langsung terbelalak begitu melihat sosok yang berdiri di samping Sekar.
“Pak Lukman?”
“Bu Chandra? Jadi, ini anak Ibu?” Lukman tersenyum melihat sosok yang tak lain adalah istri Aditya Chandra—pengusaha batu bara—yang tinggal satu kompleks dengannya.
“Begitulah, Pak. Dan, ini …” Bu Chandra kembali menoleh pada Sekar. Sekar buru-buru mengulurkan tangan menyalami Bu Chandra dengan hangat.
“Saya Sekar, Bu.”
“Terima kasih sudah menolong anak saya, Bu Sekar.”
“Tante Sekar itu mamanya Kak Ina, ya, Ma?” tanya bocah tersebut, jelas ia mengenal Einsteina dengan baik. Sekar melongo bingung, sementara Lukman berdeham pelan.
“Bukan, Sayang. Om Lukman belum menikah—”
“Kalau gitu calon mamanya Kak Ina?” potong Raja semakin bersemangat. Sekar meringis, ia merasa wajahnya memanas mendengar ucapan bocah tersebut.
“Ehm, Tante asistennya Om Lukman, Raja.” jelas Sekar tanpa diminta. Bu Chandra tersenyum minta maaf.
“Yaah, sayang sekali. Padahal Kak Ina selalu pengen punya Mama baru. Om Lukman kenapa gak nikahin Tante Sekar aja—“ Bu Chandra menepuk mulut putranya dengan gemas.
“Maafkan anak saya, Raja memang tidak bisa diam. Sudah, ayo pulang!” ajak Bu Chandra menggandeng tangan putranya, “Salim dulu sama Om dan Tante,” perintahnya yang langsung diturutinya dengan penuh semangat.
“Daag, Tante!” Sekar balas membalas lambaian tangan Raja sambil tersenyum. Ia sama sekali tidak menyadari jika Lukman sejak tadi menatapnya nyaris tanpa kedip.
***
Yang belum punya novel STS bisa order melalui salah satu admin berikut :
Admin 1 : 0822 3030 0036
Admin 2 : 0822 3030 0026Harga 78K
Tebal 396 halaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Muhallil (TERBIT)
ChickLit(SEQUEL SETEDUH TAMAN SURGA book #3) Tentang Lukman Al Hakim.