DELAPAN

5.2K 477 30
                                    

Senja sudah tiba saat Lukman memasuki kamarnya dan langsung merebahkan diri di atas ranjang setelah melepaskan kemeja putihnya dan melemparkannya ke dalam keranjang pakaian kotor. Matanya menatap langit-langit kamarnya yang bercat putih dengan tatapan menerawang. Bayangan senyum manis Sekar pada Raja menari-nari dalam benaknya. Sebelumnya belum pernah Lukman melihat senyum tulus Sekar dengan tatapan yang sangat lembut seperti saat menatap Raja.

Sikap dinginnya langsung sirna begitu bertemu dengan anak kecil. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya, sikapnya begitu hangat dan keibuan. Mau tak mau Lukman tidak dapat menyembunyikan ketakjubannya.

Diam-diam Lukman merasa penasaran. Mengapa wanita itu begitu dingin dan tak tersentuh? Pernahkan Sekar bersikap hangat pada seorang laki-laki—ya ampun, bayangan akan sorot terluka wanita itu saat bertemu dengan Gus Hamzah di Jogja tiba-tiba menyeruak ke dalam ingatannya. Lukman buru-buru bangkit dan duduk di pinggiran tempat tidur, keningnya berkerut dalam.

Mereka pasti saling mengenal, atau mungkin Sekar mempunyai hubungan spesial dengan putra salah satu kyai ternama di Batang tersebut? Lukman jelas mengenal baik Hamzah. Laki-laki pendiam itu merupakan salah satu santri Romo Kyai Abdurrahman, dan sudah tujuh tahun lamanya Hamzah mengabdi pada pesantren Miftahul Ulum. Belakangan ia selalu mendampingi Romo dan mengangkat diri sebagai khadimnya Romo. Lukman tidak tahu apa yang membuat laki-laki 35 tahun tersebut begitu betah mengabdi pada keluarganya, padahal ia adalah putra seorang kyai yang memiliki pesantren cukup besar.

Bunyi ketukan pintu menyadarkan Lukman dari lamunan. Pria itu bangkit dari tempat tidur dan beranjak membukakan pintu. Begitu pintu terbuka Lukman mendesah melihat wajah datar Sekar. 

“Saya akan menyiapkan keperluan mandi Anda, Pak,” katanya, dengan muka tak beriak. Lukman tidak menjawab, ia hanya melebarkan pintu dan membiarkan Sekar masuk. Lukman kembali ke tempat tidur dan menghempaskan diri di sana, membiarkan pintu terbuka lebar-lebar selama Sekar masih sibuk dengan pekerjaannya.

Dari ekor matanya, Lukman melihat wanita itu masuk ke kamar mandi dan menghilang di balik pintu. Seperti yang pernah dikatakannya saat pertama kali menginjakkan kaki di kamar ini, Sekar memang sama sekali tidak tertarik padanya. 

Bahkan wanita itu sama sekali tidak menunjukkan reaksi apa pun melihat seorang laki-laki telanjang dada di depan matanya, alih-alih terkejut atau risih ia justru melewati tubuh Lukman begitu saja. 

Lukman jelas tidak akan pernah melupakan pertemuan pertama mereka. Dua tahun yang lalu, Mardova—sahabat baiknya yang berprofesi sebagai artis sekaligus pengusaha—memohon padanya supaya bersedia mempekerjakan asisten pribadinya selama ia cuti dari pekerjaannya. Lukman begitu terkejut saat tahu asisten yang dimaksud oleh sahabatnya adalah seorang wanita, muda dan cantik pula. Lukman sempat menolak mentah-mentah, tetapi Mardova memaksanya. Ia hanya bermaksud menitipkan Sekar sebulan saja selama cuti, tetapi dari sebulan itu pada akhirnya hingga kini sudah dua tahun lamanya lantaran Mardova memutuskan untuk pensiun.

Sekar bukan jenis perempuan yang mau tunduk dan patuh padanya, wanita itu sepertinya juga terpaksa menuruti keingian Mardova untuk bekerja padanya selama bosnya cuti. Sikapnya pada Lukman tak ada hormatnya sedikit pun. Di hari pertemuan pertama mereka sikap Sekar sangat dingin, tak acuh, dan pemberani. Ia pandai membalas kata-kata Lukman, sikapnya yang sarkas benar-benar menyebalkan sekaligus menarik.

Lukman tidak begitu memedulikan sikap Sekar padanya. Namun seiring berjalannya waktu, ketidakpedulian Sekar padanya diam-diam mengusik sedikit ego Lukman sebagai seorang pria yang biasa dikejar banyak wanita.

Sial! Kenapa ia harus memikirkan sikap Sekar padanya. Masa bodoh Sekar tidak memedulikannya, toh ia juga tidak peduli padanya. Lukman mendengus, ia menutup wajahnya dengan bantal.

“Airnya sudah siap, Pak—kyaaaaaaa!”

Begitu mendengar teriakan Sekar, refleks Lukman adalah bangkit dan bergerak secepat yang ia mampu untuk menangkap tubuh Sekar agar tak terbanting di atas lantai marmer kamar mandi. 

Namun, ketergesaannya justru menimbulkan musibah baru. Kaki Lukman tersandung sehingga ia jatuh terjerembab menimpa tubuh Sekar, menimbulkan bunyi bedebam yang cukup keras.

Keduanya sama sekali tidak menyadari tepat di ambang pintu kamar, Bu Aisyah dan Einsteina berbelalak dengan mulut ternganga menyaksikan pemandangan tersebut. 

“Innalillahii, apa-apaan ini, Lukman!” teriak Bu Aisyah sambil memegangi dadanya. Perempuan tua itu terlihat sangat syok. Einsteina buru-buru memegangi Eyangnya agar tidak jatuh.

Seketika keduanya berusaha bangkit, Lukman yang berada di atas bangkit dengan cepat mengabaikan keningnya yang berdenyut karena terbentur kepala Sekar, diikuti wanita tersebut yang terlihat sangat syok.

“I—ini tidak seperti yang kalian kira—“ Lukman mencoba membela diri, namun kalimatnya dengan cepat dipotong oleh Einsteina.

 “Berduaan di kamar tidur tanpa baju bersama seorang perempuan yang bukan mahramnya dengan posisi yang sangat vulgar seperti itu, kira-kira apa penjelasan yang akan Papa kasih ke kita?” desis Einsteina dingin. Matanya menatap sang Papa dengan ekspresi jijik.

Lukman mengusap kepalanya dengan frustasi, “Jangan menatap Papa seperti itu, Ina! Ini hanyalah kesalahpahaman, Papa hanya menolong Sekar. Dia terpeleset di kamar mandi.“

“Menolong seseorang yang terpeleset dengan cara menindihnya seperti itu? Ya Tuhan, pantas saja Papa buru-buru membawa Tante Sekar ke Jakarta tanpa pamit pada Ina, ternyata udah gak sabar pengen berduaan begini.” Einsteina menggeleng-geleng dengan ekspresi muak yang terang-terangan ditunjukkannya.

“Ibu maupun Romo tidak pernah mengajarimu untuk bersikap seperti ini, Lukman. Berdua dengan perempuan yang bukan mahrammu dalam satu ruangan saja sudah sangat salah, apa lagi kalian tindih-tindihan—Masya Allah, Ibu sungguh malu sekali melihatnya.” Bu Aisyah menepuk dadanya berkali-kali, Lukman semakin frustasi.

“Bu, percayalah—“

“Tutup mulutmu, Man! Kamu harus menikahi Sekar, jika tidak maka Ibu tidak akan sudi melihat wajahmu lagi. Kita bicarakan pernikahan kalian di meja makan.” Bu Aisyah melengos menolak melihat putranya. Perempuan tua tersebut menggandeng Einsteina untuk berlalu. Mengabaikan permintaan Lukman untuk mendengarkan penjelasannya.

“Biar saya yang bicara dengan mereka, Pak,” kata Sekar akhirnya setelah pulih dari syoknya. 

Mengabaikan kepalanya yang berdenyut hebat, Sekar cepat-cepat berlalu menyusul dua wanita yang sudah menghilang di balik tikungan tangga.

“Sekar,” panggil Lukman dari tempatnya. Sekar menghentikan langkah dan menoleh. “Saya akan naikkan gajimu sepuluh kali lipat kalau berhasil membujuk Ibu.”

Sang Muhallil (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang