LIMA

5.3K 425 17
                                    

Sebelum berangkat ke Jakarta, pagi itu Einsteina merengek pada Lukman minta ditemani jalan-jalan. Padahal saat itu Lukman sudah bersiap, Rudi yang semalam tiba juga sudah siap bersama Roy yang akan mengatarkan mereka dengan heli. Einsteina benar-benar merajuk bahkan sampai tidak mau menyentuh sarapannya.

“Papa katanya udah mau pensiun, mau ngajar aja di pesantren sama main bareng cucu. Kenapa masih aja pergi-pergi mulu sih,” dumelnya dengan muka ditekuk.

“Papa kan harus kerja, Na. Kalau mau pergi-pergi ada Tante Sekar sama Om Hamzah yang akan menemanimu. Ayolah, Om Rudi udah nungguin Papa nih, Papa dikejar waktu.”

“Ya udah, kalau mau pergi, pergi aja sana!” Einsteina menghentakkan kaki dan beranjak masuk ke kamar. Tidak ada yang bisa membujuknya kalau sedang ngambek begitu. Semenjak hamil memang emosi perempuan bermata biru itu benar-benar naik turun tak jelas. Sebentar-sebentar bahagia, selang beberapa waktu sedih, marah-marah, tak jarang tiba-tiba menangis tanpa sebab. Kalau sudah seperti itu, Lukman akan menyerahkannya pada Sekar.

“Kamu tahu tugasmu, Sekar?” Lukman melirik Sekar sekilas, wanita itu memutar bola mata kesal.

“Tentu saja tahu, Pak. Membereskan semua kekacauan yang Bapak buat,” dengusnya sarkas.

“Hei—“

“Pak Rudi dan Pak Roy menunggu Anda, Pak. Sebaiknya Anda lekas berangkat.” Tanpa menunggu jawaban Lukman, Sekar berlalu menyusul Einsteina.

Dua tahun sudah berlangsung, setiap Lukman berselisih dengan putrinya ia pasti yang menjadi penengah. Merayu Einsteina agar mau berdamai dengan papanya. Sebenarnya awal-awal kedatangan Sekar, Lukman seperti enggan menerimanya, sikapnya dingin dan menjaga jarak. Ia seolah tak membutuhkan kehadiran Sekar. Kalau bukan karena Sekar adalah mantan asisten sahabat baiknya tentunya Sekar tidak akan semudah itu bekerja pada Lukman. Boleh dibilang ia menjadi asisten Lukman melalui jalur nepotisme. Namun, seiring berjalannya waktu Lukman justru sangat bergantung padanya.

Jika dulu Lukman paling tidak suka kebutuhan pribadinya dilayani seorang wanita, maka sekarang sebaliknya, ia seperti tidak bisa mandi kalau Sekar tidak menyiapkan keperluan untuknya, makan pun harus Sekar yang meladeni. Sebelumnya Lukman terlihat begitu terganggu akan kehadirannya, tetapi sekarang ia justru bergantung pada Sekar. Ia akan berteriak padanya hanya untuk menyiapkan pakaian yang akan dikenakannya ke kantor, meminta Sekar untuk memilihkannya. Sekar harus siap di rumah mewahnya sejak pukul 06.00 untuk melayani bosnya tersebut. Menjadi sekretaris merangkap asisten pribadi benar-benar membuatnya kewalahan, Lukman begitu kejam memberinya banyak pekerjaan. Namun, dari semua pekerjaan yang diterimanya Sekar menyadari jika Lukman lebih sering memberinya tugas untuk sesuatu yang bersifat pribadi. Meski ia adalah sekretarisnya, tetapi jarang sekali laki-laki itu memintanya mengerjakan pekerjaan di kantor. Ia lebih suka memercayakan pekerjaan kantor pada Rudi.

Jujur saja Sekar lebih suka Lukman yang dulu, mandiri dan tidak banyak memerintah. Lukman yang sekarang terlalu banyak menuntut, perfeksionis, dan menyebalkan. Di mata Sekar ia tak lebih seperti bayi besar yang manja dan banyak maunya.

Sekar menekan handel pintu kamar dan membukanya, dilihatnya Einsteina tengah duduk di pinggir tempat tidur memunggunginya, kepalanya terunduk dalam. Ngambeknya pasti tidak main-main, perasaan ibu hamil memang sangat sensitif.

“Na,” panggil Sekar hati-hati.  Einsteina sontak menoleh dan langsung tersenyum lebar, mata birunya bersinar cemerlang. Putri semata wayang Lukman ini memang sangat cantik.

“Tante, Papa udah pergi belum?”

“Sepertinya sudah. Ngambeknya udahan dong.”

“Ih, Tante, siapa yang ngambek.” Einsteina menunjukkan ponsel yang tadi dimainkannya. “Kita jalan-jalan yuk, Tante. Bosan di rumah terus.”

“Mau jalan-jalan ke mana?”

“Lihat deh, pemandangannya sangat bagus.” Einsteina menunjukkan gambar-gambar obyek wisata alam yang sangat indah melalui ponselnya.
“Mumpung Papa udah berangkat, Ina mau kerjain dia.”

“Mau ngapain? Jangan macam-macam, ya.”

“Tante tenang aja, yang penting kita jalan-jalan.” Einsteina beranjak sambil mengedipkan sebelah mata, terlihat sekali perasaannya sedang bahagia. “Tante Sekar siap-siap aja, Ina mau panggil Om Hamzah dulu.”

Jantung Sekar tiba-tiba rasanya berdetak kencang seperti mau melompat. Ada nyeri di dalam sana yang menyesakkan.

***

Lukman nyaris tersedak air ludahnya sendiri begitu membuka rentetan pesan whatsapp dari Einsteina. Puluhan foto yang diambil secara candid semuanya menampilkan gambar Sekar dan Hamzah di berbagai tempat. Di samping badan mobil tampak mereka berdiri saling berhadapan dengan jarak yang cukup dekat, Hamzah terang-terangan menatap Sekar yang sedang menundukkan kepala.

Kemudian ada sebuah foto di tengah-tengah hamparan tanaman bunga warna-warni, Sekar duduk berdampingan dengan Hamzah dengan latar belakang bunga matahari, dan masih banyak sekali foto-foto mereka yang entah mengapa membangkitkan rasa tak suka di hati Lukman.

Bunyi dentingan ponsel kembali terdengar, Lukman buru-buru membuka pesan dari putrinya tersebut. Dan, ia menghela napas kesal mendapati foto selfie Einsteina yang menjulurkan lidahnya seolah mengejek sang Papa.

“Rud, kamu berangkat sendiri saja. Saya serahkan semuanya padamu, saya tidak bisa berangkat.” Lukman mendengus keras.

“Baik, Pak.”

“Oh, ya  kamu tahu ini di mana?” tanya Lukman seraya memperlihatkan foto Sekar dan Hamzah di tengah-tengah hamparan tanaman bunga.

“Kalau tidak salah ini di Resoinangun Garden, Pak.”

Lukman bergegas keluar dari rumah menuju mobilnya yang terparkir sembarangan di halaman. Ia seharusnya kembali ke Jakarta bersama Rudi untuk persiapan acara peresmian proyek di Bali, sayangnya ada saja yang ketinggalan hingga ia terpaksa meminta Roy untuk kembali lagi ke rumah. Di sini Lukman tidak mendapati Sekar dan putrinya. Nyai Salamah bilang kalau mereka berencana pergi dengan diantar oleh Hamzah.

Mendengar nama Hamzah saja Lukman sudah langsung mencium hal yang tidak disukainya. Perasaannya mengatakan jika laki-laki tersebut memiliki hubungan istimewa dengan Sekar di masa lalu. Lukman jelas dapat menangkap ekspresi kaget wanita itu di meja makan saat melihat Hamzah, belum lagi ketika ia sengaja memanggil Hamzah semalam. Sekar terlihat seperti mau pingsan, meski berusaha ditutupinya tapi ada sorot kesakitan dalam netra hitamnya. Lukman semakin yakin memang ada sesuatu di antara mereka.

Menyadari hal tersebut, mengapa hatinya mendadak diliputi rasa tak suka? Dua tahun mengenal Sekar, belum pernah sekali pun Lukman melihat Sekar dekat dengan seorang laki-laki. Ah, tentu saja. Bagaimana Sekar bisa dekat dengan laki-laki sementara Lukman sendiri yang membuatnya sangat sibuk dengan berbagai pekerjaan hingga tak punya waktu untuk diri sendiri.

Sekarang, memikirkan kemungkinan Sekar memiliki hubungan spesial dengan Hamzah mendadak ketenangan hatinya terusik.

***

By the way, yang ikutan PO novel Gus Zaka Insya Allah habis lebaran dikirim, ya. Mohon maaf ada keterlambatan dari penerbit, saat ini bukunya belum sampai ke tempatku, masih tertahan karena ekspedisi sudah overload.

Kalian jangan khawatir, Insya Allah aku amanah, gak akan nipu. Aku gak mungkin mau mempertaruhkan nama baikku hanya untuk sesuatu yang tak seberapa. Pengalamanku selama mencetak buku berkali-kali, ini memang rekor yang paling lama prosesnya. Pengennya sih semua berjalan cepat, tapi karena dari pihak penerbitnya lama mau gimana lagi selain sabar menunggu. Aku harap teman-teman bisa sedikit bersabar lagi.

Jadi, gaes, kalau ada pertanyaan seputar pengiriman buku langsung aja WA ke sini 0822 3030 0026 pasti akan direspon dengan cepat. Infonya aku update terus di facebook dan story WA. Aku benar-benar minta maaf atas ketidaknyamanan ini, tidak bisa mengirimkan buku kalian tepat waktu seperti yang kujanjikan. Terima kasih atas pengertiannya.

Selamat menikmati sahur terakhir Ramadhan tahun ini. Semoga Allah memberi kita semua kesempatan untuk bertemu Ramadhan di tahun-tahun yang akan datang.

Salam,

Puspa PM.

Sang Muhallil (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang