EMPAT

6K 447 22
                                    

Pukul 19.00 Einsteina menjemput di Sekar di kamarnya, meminta wanita itu untuk ikut makan malam bersama keluarganya. Di meja makan sudah kumpul beberapa anggota keluarga. Seorang perempuan paruh baya menyambutnya dengan senyuman lebar.

“Sekar, senang sekali akhirnya bisa melihatmu. Ibu dan Ina sering sekali cerita tentangmu,” sambut Nyai Salamah ramah. Sekar menjabat tangan perempuan yang mengingatkannya akan sosok Bu Nyai Badriyah—ibunya Hamzah—tersebut dan menciumnya dengan takzim.

“Saya juga senang dapat berkunjung dan bertemu dengan Ibu.”

“Panggil saja Umi, semua orang di sini memanggil Umi,” senyumnya lebar. “Kalau ini Abah, kakaknya Lukman.” Nyai salamah menunjuk seorang laki-laki di sampingnya yang sedang menuang air putih ke dalam gelas. Sekar menangkupkan kedua tangannya ke dada seraya tersenyum manis.
Kyai Abdul Fatah mengangguk padanya. “Selamat datang, Sekar. Terima kasih sudah banyak membantu Ina selama ini.”

“Sudah menjadi tugas saya, Bah.”

“Ayo, silakan duduk, kita mulai makan malamnya, yang lain biar nyusul.” Nyai Salamah menarik sebuah kursi untuk Sekar dan mempersilakannya duduk, kemudian beliau menyusul duduk di samping suaminya.

“Eyang bersyukur ada Sekar yang selalu menemani Ina. Bocah ini jadi lebih manutan dan gampang diatur,” cetus Bu Aisyah seraya mengusap kepala Einsteina yang terbungkus jilbab biru. Sementara Einsteina sendiri sudah asyik mencomot makanan. “Saat Lukman memutuskan untuk membawanya ikut ke Jakarta selama Gus Hasan di Madinah, Eyang khawatir sekali Ina akan kembali berulah seperti sebelum menikah.”

“Ya nggak mungkinlah, Eyang. Masak orang hamil mau keluyuran ke boxing ilegal menghajar orang,” protesnya seraya mencomot bakwan jagung.

“Tidak ada yang menjamin kamu tidak akan melakukannya, mengingat sudah hamil besar begitu saja masih suka lari-lari,” sambung Kyai Abdul Fatah. Sekar tersenyum seraya menoleh pada Einsteina di sampingnya. Ia memang sudah cukup sering mendengar cerita kenakalan Einsteina saat masih sekolah.

“Cuma lari-lari kecil tidak akan berpengaruh—Aduh, Papa!”

“Dari dulu masih saja bandel dan susah dibilangin.” Lukman ikut bergabung dan duduk di seberang mereka, tepat di depan Sekar setelah melayangkan cubitan di pipi putrinya. Sekilas tatapan mereka bertemu, namun Lukman langsung beralih menatap putrinya.

“Papa katanya besok mau berangkat ke Jakarta, Tante Sekar biar di sini sama Ina, ya?”

“Nggak bisa gitu dong, Na. Sekar banyak kerjaan, tidak bisa di sini terus bareng kamu.” Lukman membalik piring dan mulai mengambil makanan di depannya, kemudian ia menuangkan air ke dalam gelas dan meneguknya.

“Halah, bilang saja Papa nggak mau berjauhan dari Tante Sekar.” Lukman seketika tersedak dan terbatuk-batuk, ia meraih tisu dan menyeka mulutnya. Di samping Einsteina, Sekar meringis tak nyaman.

Einsteina memang sering sekali berusaha menjodohkan mereka, ia tidak segan merayu Sekar supaya bersedia menjadi mama tirinya. Einsteina sering mengeluh papanya susah sekali diminta untuk menikah, meski banyak sekali wanita yang berusaha memikatnya. Sekar tentu tahu itu, di luar sana para wanita berlomba-lomba mencari perhatiannya, berharap dapat mengambil hati si Duda.

Di usia yang kini menginjak angka 44 Lukman masih sangat prima, pesonanya seolah tak pernah luntur. Semakin bertambah usia ia justru terlihat semakin memikat. Tubuhnya yang tegap dan berotot hasil nge-gym rutin di ruang olah raga pribadinya di rumah. Sebagai seorang wanita Sekar mengakui laki-laki ini benar-benar sangat memikat, ia tampak seperti aktor-aktor luar negeri di usia matang. Belum lagi, ia merupakan seorang konglomerat tanah air dengan kekayaan yang tak akan habis tujuh turunan. Wanita normal mana yang tidak tertarik padanya, coba? Ralat, selain Sekar, wanita normal mana yang tidak tertarik padanya?

Sang Muhallil (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang