12. ALUNAN SENDU

65 4 11
                                    

TAMPARAN keras mendarat di wajah Gatha ketika kami tiba dirumah.

“Ody, kamu ngapain?!” tanyaku, spontan, secara menarik Gatha menjauh refleks.

Kami masih berada di luar gerbang, Melody dan Sica berdiri berdampingan dengan wajah cemas, dan ketika aku muncul bersama Gatha temanku itu langsung mendekati Gatha berang dan menamparnya.

“Darimana aja lo, sialan!! Lo pikir sekarang jam berapa?? Lo nggak tau aturan apa, mulangin cewek selarut ini?? Lo punya otak buat mikir nggak sih?!” bentak Ody, dan hampir aja mencengkram kerah baju Gatha—omong omong, cowok itu pake kemeja putih kotak kotak sebagai lapisan T-Shirt abu abunya—kalau aku tidak menghalanginya.

Tapi bukannya berhenti, Melody tetap menunjuk nunjuk Gatha murka, “Denger ya, mulai sekarang lo jauh jauh dari temen gue!! Awas aja kalo gue liat lo ada dalam radius 10 meter dari Luna!” ancamnya, ngga main main.
“Ody, jangan berlebihan!” selaku, akhirnya. Karena menurutku, kali ini dia benar benar terlalu ikut campur.

“Tapi, Lun, Sebenernya gue setuju sama Melody.” Sahut Sica.

Tunggu, apa?

“Cowok macam apa yang mulangin temen ceweknya jam 1 dini hari? Kami sampek ngga bisa tidur gara gara takut lo kenapa napa. Lo juga ngga bisa dihubungin dari tadi.” Lanjutnya.

Aku memelototinya. Ada apa ini? Kenapa mereka bertingkah seolah kami anak rumahan baik baik?

Okelah, memang kelewatan muncul berdua saja dengan teman cowokmu pada pukul 1 pagi. Tapi mereka berdua juga sering pulang larut. Sica bahkan beberapa kali tidak pulang selama berhari hari dan tidak memberi kabar. Kenapa untuk kasusku kini mereka begitu berlebihan?!

“Tapi aku...”

Aksi protesku terhenti ketika tau tau Gatha memegang tanganku. Aku menoleh padanya, yang mengusap sudut bibirnya yang berdarah gara gara tamparan Melody. “Udah, kalian ngga perlu berantem. Gue yang salah disini, jadi tolong jangan memperpanjang masalah, oke. Gue minta maaf, dan gue jamin kejadian ini nggak akan terulang lagi.” Ujarnya, mengaku.

Terang saja aku keberatan. Memang sih, aku menerima pesan atas nama dia, tapi itu kan bukan dia. Gatha nggak tau apapun, jadi gimana bisa aku membiarkannya disalahkan begini?

Tapi sebelum sempat aku membela, Melody kembali menyahut, “Gue juga nggak akan biarin ini terjadi lagi. Udah sana, lo balik!! Sebelum ada orang liat dan kita jadi bahan pembicaraan!” usirnya, semena mena.

Gatha melepaskan tanganku, membuatku menoleh spontan ke arahnya. Namun dia malah menatap kami dengan senyum. “Gue balik dulu kalo gitu. Dan Melody...” ia diam sejenak, mengusap sudut bibirnya, “...tamparan lo lebih keras dari yang gue kira.” Lanjutnya, sebelum akhirnya benar benar berlalu.

Aku menoleh pada dua temanku, melemparkan tatapan protes, namun mereka langsung menarikku masuk ke dalam. Melody menyeretku berdiri di balik pintu, dan entah kenapa Sica membuka sedikit kelambu. Mengintip ke luar.

“Ada, Ca?” tanya Melody, setengah berbisik.

“Enggak. Udah pergi kayaknya.” Jawab Sica, lalu menutup kembali kelambu.

“Ada apa sih ini?” tanyaku, tak paham.

Melody dan Sica menatapku, dan dalam kegelapan lampu yang telah padam, tatapan mereka bagaikan tatapan seorang eksekutor yang siap mengulitiku hidup hidup.

“Sampein maaf gue ke Gatha, oke. Gue terpaksa gampar dia tadi. Meski ternyata asik juga sih...” Melody yang pertama bersuara, dan aku langsung memelototinya diakhir kalimat. “Iya... Iya... Sori.” Ucapnya, lagi.

DEAR YOU...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang