20. SENANDUNG MELODY

72 4 1
                                    

PETUGAS outbond  brengsek itu menipu kami!!

Ups, maaf kalau kalian harus langsung mendengar kata kata kasar dariku, tapi serius, aku lagi marah banget.
Katanya mereka akan mencarikan kami bantuan, tapi sampai hari nyaris sore, tak ada tanda tanda kedatangan siapapun. Belum lagi si Karin yang kembali cerewet dan mengeluh. Dan merengek. Ampunnn…. Kuharap dia saja yang dilukai pelaku, biar bisa tidur di kamar seharian.

“Kita harus segera keluar dari sini.” Celetuk Levin, saat kami berkumpul di halaman paviliun keesokan sorenya.
“Bukannya gue nyinyir atau apa, toh selama kita nggak berpisah ngga ada kejadian buruk. Dan bis jemputan bakal datang 3 hari lagi kalo sesuai jadwal. Tapi luka Ursil dan Niar butuh perawatan yang lebih baik. Gue emang anak PMR, tapi gue kan bukan dokter.” Jelasnya.

Aku berdecak dalam hati menyadari kebenaran kata katanya. Kalo luka Ursil dan Niar nggak dirawat dengan lebih baik, bisa bisa mereka malah makin parah. Apalagi Ursil udah mulai sadar dan terus mengeluh kesakitan.

“Iya, setuju. Gue nggak mau disini lagi, kita cepetan pulang aja.” Timpal Karin, sama sekali nggak ngasih solusi. Tuh cewek bener bener membuatku gatal pengen nabok.

“Aku juga setuju soal itu.” Sahut Luna, menengahi. Seketika kami semua menatapnya, “Ngga ada satupun dari kita yang pengen berlama lama lagi disini. Kondisi Ursil dan Niar juga harus dapat penanganan segera.” Lanjutnya.

“Terus? Lo punya solusi untuk itu?” tanyaku. Dia mengangguk, “Cuma ada satu cara, yaitu kita harus mencari sendiri jalan keluarnya.” Jawabnya, lugas.
Kami semua terdiam. Yah...selama ini kami juga memikirkan itu, tapi jalan keluar macam apa yang harus kami ambil, itu kan yang jadi masalahnya.

“Kalo itu kita semua juga..”

“Maksudku...” Luna langsung menyela waktu Karin menimpali jawabannya. “...Kita akan cari jalannya, secara harfiah. Penginapan ini emang terpencil, tapi bukan berarti kita bener bener terisolasi dari dunia luar kan? Aku nggak tau mesti sejauh apa, tapi kita butuh meriksa sekeliling daerah ini. Siapa tau kita ketemu seseorang yang bisa dimintai tolong, nemuin rumah orang sini, atau lebih bagus lagi puskesmas terdekat. Kita utamain Ursil dan Niar dulu.” Urainya.

“Tapi...kita sama sekali nggak tau jalan sini, karena waktu kita berangkat semuanya ketiduran kan? Nggak ada yang merhatiin jalan.” Sahut Doni.

Ucapannya seketika membuatku tersadar satu hal. Benar juga. Sewaktu berangkat, kami semua tertidur pulas dan baru bangun ketika sampai. Tak ada satupun yang merhatiin jalan menuju kesini, jadi tak ada yang tau pasti daerah seperti apa tempat kami berada sekarang.

Apa itu kesengajaan?

“Aku tahu, tapi ini bukan kota besar macam Jakarta. Nggak mungkin jalannya berbelit belit dan banyak tembusan. Asal kita ikutin jalan beraspal, kita pasti bisa sampai ke suatu tempat di kota. Dengan begitu kita bakal dapat sinyal buat minta bantuan.” Sahut Luna, yakin.

Pada akhirnya, kami semua menyetujui usul itu dan mulai membuat kelompok kecil beranggotakan 7 orang untuk memeriksa jalan. Barangkali ada pemukiman terdekat di sekitar sini. Berhubung hanya ada rumah Pak Rahmat di belokan kiri penginapan, kami memutuskan menelusuri belokan kanan dari lokasi penginapan.

Aku, Luna, Doni, Bayu, Ari, Sita, dan Dewi yang pergi. Diantara seisi kelas, Sita dan Dewi yang pandai mengawal diri, sementara Doni, Ari, dan Bayu sebagai perwakilan cowok kami ajak untuk berjaga jaga bila terjadi sesuatu. Tentu saja bukan buat melindungiku, toh kalau aku tahu aku bakal langsung menendang siapapun yang berani melakukan semua ini.

Jam tanganku menunjukkan pukul 4 sore, dan kami masih menelusuri jalanan aspal yang tampak tak berujung. Langit tampak semakin mendung, ditambah bayangan pepohonan di kanan kiri yang makin bikin mencekam. Rasanya kayak lagi syuting film horor. Beberapa dari kami sempat mendapat sinyal, namun sayangnya cuman bertahan beberapa detik sebelum akhirnya hilang lagi.

DEAR YOU...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang