16. ALUNAN SENDU

75 4 9
                                    

PEMANDANGAN yang disajikan sepanjang perjalanan benar benar memukau.

Atau setidaknya itulah yang ingin kukatakan kalau saja aku tidak tertidur dengan pulasnya.

Payahhh. Padahal aku berencana menikmati perjalanan kami—itu sebabnya aku ngotot pada Melody untuk tukar tempat duduk di dekat jendela—tapi kami malah ketiduran dengan lelapnya.

Dan yang kumaksud waktu bilang kami, adalah seluruh yang ada di bis. Oke, tentu saja supirnya tidak. Karena kalo iya, bisa bisa begitu sadar aku sudah di alam baka.
Kami sampai di tempat tujuan setelah 3 jam perjalanan. Atau kira kira selama itulah. Dan kami turun dari bis dengan muka seragam—kusut dan mata setengah melek.

Enggak. Kalo kalian pikir kami keracunan, atau salah makan berjamaah, jelas jelas itu tidak terjadi. Sebenarnya, aku yang menuntut agar seluruh teman teman sekelasku meminum obat anti mabuk yang ku siapkan. Yah... Memang tidak ada yang mengajukan keberatan kalau ada salah seorang dari kami mabuk atau muntah di tengah perjalanan. Tapi siapa sih yang mau perjalanannya terganggu oleh bau khas isi perut orang lain?

Jadi mungkin karena obat itulah kami berakhir dengan tidur berjamaah di dalam bis.

Omong omong, bis yang kudapat dari teman Gatha ini keren banget. Bersih, wangi, AC nya ngga bermasalah—biasanya kami bakal terganggu oleh AC AC bocor dan harus mengungsi ke tempat duduk lain—banyak colokan listrik, pokoknya tipe kendaraan murah tapi nyaman banget.

Minus sopirnya—yang mana kami harus sewa supir sendiri—transportasi beres tanpa masalah.

“Dijemput seminggu lagi kan mbak?” tanya pak supir. Aku mengangguk mengiyakan, dan begitu kami selesai menurunkan barang bawaan dengan teliti, kendaraan tersebut memutar arah dan menggerung pergi.

Penjaga tempat tersebut menghampiri kami, dan aku yang harus menyambutnya mengingat aku yang bertanggung jawab untuk seminggu ke depan. Bukannya belagak atau gimana, tapi sekarang saja ke 24 temanku sudah menghambur kesana kemari. Membiarkan tas, koper, dan barang barang mereka teronggok begitu saja hanya untuk berselfie selfie ria.
Dan Melody menjadi salah satunya.

“Jadi begitu mbak.” Pungkas pak penjaga, yang omong omong namanya Rahmat. “Berhubung yang nyewa kali ini anak anak sma, saya serahin tempat ini selama seminggu ke mbak ya. Kalo bawa anak sih, baru saya ikutan jagain disini. Dan... Oh ya, rumah saya nggak begitu jauh. Dari pintu masuk, mbak ke arah kiri aja sampai mentok. Kalo ada apa apa, langsung ke rumah saya aja. Penanggung jawab outbond bakal datang besok pagi.” Terang Pak Rahmat, untuk terakhir kali.

Aku mengangguk, tersenyum sopan. “Makasih, Pak Rahmat. Saya ngga bakal macem macem disini, dan terima kasih atas penjelasannya.” Jawabku. Begitu selesai menerima semua penjelasan—yah, biasanya tempat terpencil kan punya pantangan khusus atau lain lainnya—Pak Rahmat beranjak pergi.

“Semuanya!!” seruku, memaksa merebut perhatian mereka.

Untungnya, mereka nggak sesulit di atur saat di sekolah. Satu teriakan—dan aba aba pembantu dari Melody—semua temanku berkumpul di depanku dalam waktu kurang dari 3 menit.

“Biar kujelasin dulu beberapa peraturan selama kita nginep disini, mengingat ini jauh dari rumah kita dan... Yah, pastinya kita nggak boleh macem macem.” Ujarku, membuka penjelasan.

Ku sampaikan semua yang kudengar dari Pak Rahmat, terutama mengenai tetek bengek penginapan.

Terdiri dari 3 paviliun, yang mana tiap paviliun di fasilitasi 5 kamar—tiap kamar berkapasitas 4 orang dengan 2 ranjang—dapur, ruang tengah yang luas tapi lesehan—pastinya enak banget buat kumpul kumpul—dan 5 kamar mandi. Berhubung yang ikut serta dalam liburan cuman 25 anak termasuk aku, kusuruh mereka membentuk 3 kelompok beranggotakan 8 orang. 2 orang akan menempati 1 kamar, dan tiap paviliun bakal dihuni 1 kelompok.

DEAR YOU...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang