Tragedi Warung Kopi

688 67 40
                                    


20.55, Stasiun Nxxxxx

Malam ini gerimis lagi. Tapi tidak menyurutkan niat para pemuda itu untuk berkumpul di warung kopi langganan mereka yang terletak di dekat stasiun. Sebut saja namanya Jaemin, Jeno, Haechan dan Renjun. Sahabat seperpopokan, begitu mereka menyebutnya. Kadang juga ditambah Lucas–pacar Haechan, dan Mark–teman Lucas yang sudah dianggap teman juga oleh keempatnya.

Mereka memang laki-laki. Anggap saja mereka aneh karena pacaran dengan sesama laki-laki. Tapi menurut yang sudah mengenal lama, mereka itu spesial.

"Ojo galon galon wae lah" (jangan galau galau lah) salah satu dari mereka berbicara. Oknumnya adalah Jeno. Melihat Jaemin yang seperti sedang frustasi membuatnya ikut frustasi. Pasalnya Jaemin yang biasanya banyak bicara jadi pendiam itu aneh.

"Cangkemmu" balas Jaemin setelah menghembuskan asap rokoknya keudara. Dingin-dingin begini memang paling enak ngopi sambil ngerokok ditemani gorengan anget.

"Jaem, lek kamu suka sama dia ya omongin to. Jangan terus-terusan dipendem. Sing lara ya kamu" (Jaem kalau kamu suka sama dia ya omongin dong. Jangan terus-terusan dipendam. Yang sakit ya kamu)

Itu Renjun yang ngomong. Bahasanya kalem dan masih campuran. Masih takut salah. Renjun memang bukan asli dari sana. Dia pemuda kota yang pindah ke desa saat masuk SMP. Dan kebetulan bertemu dengan Haechan si pemuda berisik dan pecicilan. Selanjutnya entah bagaimana mereka bisa menjadi sahabat.

"Tak ewangi ya? Tak ngomong nek mas Lucas kaben wonge melu ngewangi" (Aku bantu ya? Aku bilang ke mas Lucas biar dia ikut bantu) Haechan juga ikut menimpali setelah menghabiskan dua biji ote-ote. Kebetulan dia lapar. Lumayan dua biji ote-ote bisa mengganjal perut.

"Gak lah. Gausah. Ben ngene wae" (Biar begini saja) Jaemin menghembuskan kembali asap rokoknya seolah-olah itu semua beban yg selama ini dia tahan. Kepalanya mendongak bersandar di sandaran kursi kayu yang dia duduki. Kakinya diangkat sebelah. Tangannya terentang disandaran kursi yang panjang.

"Terserahmu lah. Kamu sendiri yang ngerasain" Renjun terlihat pasrah dengan Jaemin.

Maksud teman-temannya itu baik ingin membantu Jaemin. Tapi Jaemin tetap kekeuh ingin menyelesaikan masalahnya sendiri. Bukan masalah besar sebenarnya. Hanya masalah hati.

Hanya saja, ah Jaemin males membahas masalah itu.

Tidak lama datang laki-laki seumuran mereka membawa nampan yang ada empat gelas berisi kopi hitam. Aroma kopi menyeruak masuk ke indra penciuman masing-masing. Aroma hujan dicampur dengan aroma kopi memang sangat nikmat, begitu kata Jeno.

"Mas, mienya masih lama?" begitu tanya Renjun waktu nasi bungkus yang dipesan teman-temannya juga sudah sampai ke meja. Dirinya sudah lapar. Apalagi hujan-hujan begini kalau makan yang anget-anget akan lebih nikmat.

Lalu yg dipanggil mas itu pergi ke dapur warung setelah bilang jika sebentar lagi mienya akan jadi.

"Kok bengi-bengi mangan mie?" (Kok malam-malam makan mie?) Jeno bertanya setelah menyalakan rokonya. Menghisap kuat lalu menghembuskannya ke udara. Jeno memang sedikit protektif dengan Renjun.

"Suka suka lah" Dan Jeno mendengus.

Mereka–Jeno dan Renjun–memang tidak memiliki hubungan apa-apa. Tapi Jeno memiliki perasaan lain dengan Renjun. Perasaan yang melebihi seorang sahabat. Jeno sudah mengungkapkan perasaannya ke Renjun. "Ben mlaku sik" (biar jalan dulu) jawab Renjun waktu itu. Jeno lega, setidaknya Renjun tidak menjauh dari Jeno.

Setelahnya hanya hening yang menyelimuti mereka. Sesekali suara tawa Haechan terdengar. Kalau tidak game mungkin grup alumni kelasnya. Sesekali juga suara Jeno yg menyuruh Renjun untuk makan pelan-pelan juga terdengar.

Ketika Aku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang