“You may be married to a star, but that doesn't mean they'll treat you like one.”
– Jess C. Scott, I'm Pretty
***
Eleanor
Saat di supermarket, Louis menyuruhku untuk memegang daftar belanjanya dan mendiktenya barang apa saja yang harus ia beli. Aku baru kali ini merasakan bagaimana rasanya berbelanja dengan seorang cowok selain ayahku.
“Dua margarin.” ujar Louis sembari memasukkan dua margarin ke dalam keranjang belanjaan. “Selesai. Apa lagi, El?”
“Sepuluh wortel.”
“Kau yakin ibuku menulis ‘sepuluh wortel’?”
Aku mengangguk. “Bagaimana ibumu bisa menghabiskan sepuluh makanan cepat busuk dalam 3 hari?”
“Aku rasa hanya sebuah kulkas yang bisa menjawab pertanyaan barusan. Berapa lama dia akan menyimpan wortel itu dalam badannya? Entahlah. Tanyakan saja pada si kotak pendingin bernama kulkas!”
Aku terkikik.
“Kau tahu, aku pernah membuat kesalahan terbesar terhadap para penggemarku. Dan, itu berkaitan dengan wortel.”
“Ada apa dengan penggemarmu dan wortel?”
“Aku pernah mengatakan pada mereka bahwa aku menyukai cewek yang suka makan wortel. Dan, setelah kejadian itu, aku pernah bertemu dengan salah satu penggemar mengenakan kostum wortel. Dia bilang bahwa itu semua demi aku terkesan padanya.”
Aku pun tertawa. “Itu adalah kesalahan terbesar, Lou.”
“Tapi, hei, aku beruntung memilikimu sekarang.” Louis merangkulku. “Jika ada penggemar yang menanyakan padamu apakah kau suka makan wortel atau tidak, kau harus menjawab ‘iya’, walaupun kenyataannya ‘tidak’, oke?”
Aku tersenyum, lalu membenahi hoodie jaketku.
Louis menolongku membenahi hoodie jaketku, lalu tersenyum ke arahku. “Aku senang kau telah membuat adik-adikku percaya padamu, El. Aku sangat berterima kasih padamu.”
Bukankah ini terdengar aneh karena Johannah dan Louis baru saja mengatakan hal yang sama? Mereka berdua sangat berterima kasih padaku. Apa maksudnya?
***
Sesampainya di rumah Louis, aku melihat Johannah sedang mengobrol dengan cowok berbadan tinggi yang mengenakan beanie abu-abu dan jaket hoodie ungu. Aku tidak tahu siapa cowok itu, dia sedang memunggungiku dan Louis.
Tepat saat cowok itu berbalik, ia tampak terkejut mendapati diriku sedang berdiri di belakang Louis sambil menggandeng lengannya.
“Harry?,” pekik Louis. Ia langsung menyingkirkan tanganku dari lengannya. Ouch. “Sedang apa kau di sini?”
“Kau tidak membalas pesanku, aku takut jika ada sesuatu yang aneh terjadi padamu. Jadi, aku kemari,” jawabnya malas seraya menatapku sinis. Aku bisa mengetahui bahwa dia benar-benar malas untuk menjawab dari caranya dia memasukkan kedua tangannya kedalam saku jaketnya. “Aku tidak seharusnya datang ke sini. Maaf.” Dia melewatiku dan Louis begitu saja.
Louis langsung mengejar Harry hingga keluar dari rumahnya.
Aku menatap Johannah, dia tampak gelisah. “Ada apa, Jo?” tanyaku padanya.
Dia hanya menggelengkan kepalanya. “Kau tunggu di sini saja, El. Bob dan yang lainnya sudah pulang. Louis mungkin mau mengantarkan kau pulang.”
“Tapi, Jo, jarak antara Doncaster dan Manchester memakan waktu satu setengah jam. Aku akan pulang sendiri naik taksi. Aku tidak apa-apa.”
Johannah menatapku gelisah. Dia mengelus pundakku. “Sudahlah, El. Duduk sini dan tunggu Louis. Aku akan memanggilnya.”
Aku duduk di sofa dengan pasrah. Aku mulai berpikir bahwa Harry pasti sudah menunggu kami dari tadi – maksudku - menunggu Louis. Dia pasti sangat cemburu melihatku dengan Louis. Aku tidak seharusnya menggandeng lengan Louis seperti itu! Aku sangat bodoh!
***
Aku terdiam sepanjang perjalanan pulang menuju ke rumah. Louis mau mengantarkanku pulang, meski dengan terpaksa. Lagi.
Kita berdua sama sekali tidak berbicara. Louis menutup mulutnya rapat-rapat, begitu juga denganku. Aku ingin bertanya apa yang terjadi dengannya dan Harry, tetapi aku takut menanyakannya. Bagaimana jika tiba-tiba Louis mengeluarkan jurus sassynya lalu menyalahkanku?
Astaga, hari ini benar-benar tidak seperti yang aku harapkan. Aku kira hari ini akan baik-baik saja, ternyata tidak. Hari ini terasa sangat panjang bersama Louis. Bahkan, aku tidak mengerti apa tujuanku pergi bersama Louis dan bertemu dengan keluarganya hari ini. Apakah untuk dokumentasi google?
Sesampainya di rumahku, Louis masih belum mengatakan satu kata pun.
“Uhm, kau mau mampir?” tanyaku pada Louis. Eleanor, bagaimana bisa kau menawarkan seseorang yang sedang kesal padamu untuk mampir ke rumahmu? Aku bodoh sekali!
Louis hanya menggelengkan kepalanya. “Aku akan menelponmu nanti.”
“Terima kasih untuk hari ini, Lou. Aku bersungguh-sungguh,” aku mengusap-usap rambut Louis dan mengecup pipi kirinya... tidak. Dia menghindari kecupanku itu. Aku merasa canggung sekarang. Lebih baik aku menyudahi rasa canggungku ini. Aku segera keluar dari mobil. “Selamat malam, Lou.”
Aku sempat melambaikan tanganku padanya, dia tidak membalasnya. Mobilnya langsung melaju dengan cepat dan menghilang begitu saja dalam kegelapan.
Sekarang sudah pukul duabelas malam. Sebaiknya, aku harus tidur dan melupakan kejadian malam ini.
Sebelum aku beranjak ke tempat tidurku, aku mengirimi pesan pada Louis dan berharap semoga dia membalasnya.
To : LouLou
Kau tidak perlu meneleponku malam ini, Lou. Aku akan tidur secepat jet sebentar lagi.
Selamat malam. Semoga mimpimu indah, Lou xx
***
PLEASE COMMENT + VOTE!! It means a lot to us thanks xx
YOU ARE READING
Regardez-Le Mourir (Larry Stylinson)
FanfictionBagaimana jika kau adalah Eleanor Calder dan melihat segala kenyataan, baik pahit dan manis tentang Larry Stylinson? © 2014 by sorryitspersonal and cadburyvogue