“Love is when the other person's happiness is more important than your own.”
– H. Jackson Brown, Jr.
***
Louis
Aku menghembuskan nafas lega seraya menghempaskan diriku di atas sofa. Entah kenapa sofa ini terasa sangat nyaman dan hatiku pun terasa sangat ringan tanpa beban.
Aku kira malam ini akan menjadi malam yang berat, ternyata tidak juga. Aku memutuskan untuk semalaman di rumah Harry dan dengan cepat dia langsung memaafkanku. Aneh? Tidak. Menurutku, ini adalah hal yang biasa.
Aku dan Harry selalu menganggap hal yang memicu perkelahian diantara kita adalah hal-hal kecil. Jadi, itu tidak perlu dipermasalahkan lagi hingga menjadi panjang.
“Kau mau nonton apa?” tanya Harry seraya membungkuk ke lemari bawah televisi. Ia mengambil beberapa keping VCD dan memilihnya secara acak. Ia membiarkan diriku menonton pantatnya yang sedang mengenakan celana dalam bertuliskan Calvin Klein berwarna biru tua yang terlihat dengan jelas dibalik setelan piyamanya.
“Malam ini terserah kau, Haz.” jawabku.
Aku dan Harry selalu menghabiskan malam bersama dengan melakukan movie marathon di rumah Harry. Orangtua Harry sama sekali tidak keberatan jika setiap malam aku berada di sini. Bahkan, mereka sudah menganggapku seperti salah satu anggota keluarga. Ya. Mereka sudah tahu hubunganku dengan Harry adalah lebih dari teman.
Tetapi, semenjak aku diminta oleh manajemen untuk mengambil pekerjaan sampinganku, yaitu menjadi pacar bohongan untuk seorang cewek, aku dan Harry mulai jarang melakukan movie marathon bersama.
Aku tidak mau menyia-nyiakan malam ini. Aku benar-benar ingin menghabiskan waktu bersama dengan Harry, orang yang sangat aku cintai.
“Bagaimana dengan ini?” tanyanya seraya menunjukkan VCD berjudul ‘Planet of The Apes’.
“Uhm, kau yakin ingin menonton film saudaramu?”
“Mereka nenek moyang kita, Boo.” Harry langsung memasukkan keping VCD tersebut ke dalam VCD player. Dia berlari ke arahku dan duduk di sampingku. “Pop corn sudah siap?”
Aku mengambil semangkuk pop corn ukuran besar yang terletak di atas meja. “Siap.”
Kami berdua menonton film tersebut sambil asyik melahap pop corn. Tiba-tiba, pantatku terasa bergetar. Oh. Ponselku yang bergetar rupanya.
Aku menganga seraya melihat layar ponselku. Eleanor mengirimiku pesan? Apa yang merasukinya? Tumben sekali. Aku lupa jika aku berjanji padanya untuk meneleponnya nanti. Aku kira dia akan melupakan janjiku itu dengan cepat, ternyata aku yang malah melupakannya.
“Siapa, Boo?” tanya Harry.
“Eleanor,” jawabku, lalu memasukkan ponselku kembali ke dalam saku. “dia mengirimiku pesan.”
“Oh ya? Dia bilang apa?”
“Tidak ada. Dia hanya mengucapkan ‘selamat malam’. Itu saja.”
Harry menganggukkan kepalanya.
Kami berdua kembali menonton film.
“Boo,” panggil Harry. “bagaimana jika suatu hari nanti Eleanor memiliki perasaan lebih padamu?”
Aku tersedak. Harry juga kerasukan? “Haz, kau tahu kalau aku itu gay! Mana mungkin—“
“Mungkin.” Harry memutar bola matanya. “Boo, kau imut, lucu, dan menggemaskan seperti boneka Teddy Bear. Maksudku, wanita mana yang tidak akan mengagumimu? Bahkan seorang pria pun juga mengagumimu!”
Aku terkekeh. “Aku merasa lebih baik jika cukup seorang pria saja yang mengagumiku dan itu adalah kau, Haz.”
Harry menatapku lekat-lekat. Tatapan itu membuatku yakin bahwa dia memang serius menanyakan bagaimana jika hal ini terjadi.
Ayolah, Haz. Eleanor pasti paham betul apa gunanya dia dalam kehidupanku dan tidak mungkin dia akan menyukaiku lebih dari ‘pekerjaannya’.
***
[A/N]: too short, eh?
PLEASE COMMENT + VOTE!! It means a lot to us thanks xx
YOU ARE READING
Regardez-Le Mourir (Larry Stylinson)
FanficBagaimana jika kau adalah Eleanor Calder dan melihat segala kenyataan, baik pahit dan manis tentang Larry Stylinson? © 2014 by sorryitspersonal and cadburyvogue