10. Ketahuan

217 43 6
                                    







Gue berlari masuk ke rumah dengan tangan penuh dengan plastik belanjaan.

Willy yang asik main games cuman melirik sebentar gara-gara gue dateng udah grasak-grusuk heboh sendiri.

Bunda kayaknya lagi keluar. Jadi nggak lihat kalau gue daritadi udah pengen nangis.

Gue segera berlari masuk ke kamar Mba Windy setelah menaruh belanjaan di dapur. Dia lagi sisiran didepan kaca. Lalu reflek membalikkan badan ketika gue membuka pintunya.

"Ketok dulu—"

"Maafin aku, mba."

Gue memeluk erat Mba Windy yang tingginya seleher gue. Awalnya dia mau ngomel gara-gara gue gak jelas mendadak meluk dia.

Tapi dia mengurungkan itu dan memilih buat membalas pelukan gue sembari menepuk pelan punggung gue.

"Udah Wildan, gak usah nangis." kata Mba Windy menenangkan. Sepertinya dia tau gue kenapa.

Gue makin terisak dipelukan dia. Gak tega ngebiarin Mba Windy sakit cuman gegara sikap gue yang kayak anak kecil.

"Mba ikhlas bantuin kamu. Aku juga kangen Momo kok," Mba Windy mengelus kepala gue.

"Hiks... Tapi Wildan gak mau mba sakit cuman gegara Wildan."

"Gapapa Wildan. Aku tau rasanya kehilangan kucing. Makanya aku bantuin kamu."

"Makasih," gue semakin mengeratkan pelukan.

Badan Mba Windy anget banget. Ini efek dia masih sakit atau emang pelukan perempuan sehangat ini ya?

Gue makin gak tega sama Mba Windy.













"Mas Wildan aku juga mau dipeluk dong!"

















"Sini..." Mba Windy merentangkan tangan kanannya untuk memeluk Willy.

Gue melepaskan pelukan pada Mba Windy. "Ngapain sih lo?!" tanya gue galak.

Bukannya takut, Willy malah menunjukkan muka kaget. "IH MAS WILDAN NANGIS???"

"ENGGAK!"

"BOONG! ITU MATANYA MERAH!"

"BARU BANGUN TIDUR GUE!"

"LAH KAN LO BARU DARI PASAR? NANGIS KAN ELO, MAS???"

"Udah dong. Kasian nih mas kamu habis nangis." lerai Mba Windy.

"Tuh kan lo nangis!"

"Ck! Gausah bocorin dong, mba!" ujar gue sewot tingkat dewa.

"Lo nangis kenapa mas?" tanya Willy yang masih penasaran.

"Kepo!" jawab gue galak.













Udah seminggu lebih, Momo masih belum balik. Gue berusaha mengikhlaskan kepergian Momo.

Tapi hubungan gue dengan Acha semakin renggang.

Dia semakin menjauh. Mungkin karena takut. Atau dia juga marah besar sama gue. Entahlah, gue hak tau persis alasan dia menjauh.

Cuman karena dihari itu, gue berbicara sarkas ke dia.












Poster Momo bener-bener narik perhatian gue. Rasanya pengen buru-buru kerumah dan ninggalin kue pancong ini.

"Wildan!"

Gue menoleh dan mendapati Acha yang berjalan kearah gue dengan kantong plastik merah yang penuh dengan buah-buahan.

"Tumben kamu ke pasar. Sama Mba Windy?" tanyanya dengan ramah.

"Gak." jawab gue singkat tanpa melihatnya. Mata gue sibuk ngelihatin poster Momo.

"Kamu kangen banget ya sama Momo?"

"Hm. Kalo lo ga kerumah gue, kayaknya ga bakal hilang."

Acha terdiam. Kelihatan kalo dia mulai sakit hati. Tapi gue gak peduli. Gue juga sakit hati kehilangan Momo.

"Maaf. Acha bakal bantuin Wildan nyari Momo."

"Gak usah." tolak gue sembari mengambil pancong gue."

Gue berjalan mendekat kearah Acha. Lalu menatapnya dalam dengan tatapan penuh amarah. "Gara-gara lo, Mba Windy jadi sakit."













Sejak kejadian itu, Acha gak pernah nyapa gue lagi. Dia jadi nggak melakukan hal yang berhubungan sama gue. Dia menghindar.

Selalu nunduk kalau nggak sengaja pas-pasan. Selalu menjauh kalau nggak sengaja jarak gue sama dia deket.

Teman sekelas pada heran. Karena tumben-tumbenan Acha gak seaktif biasanya.

Apa gue kejam banget ya?

"SIAPA YANG HABISIN TINTA PRINTER???" Suara Mba Windy melengking keras didalam rumah.

Dirumah emang lagi nggak ada ayah, jadi mba berani teriak-teriak.

"Willy!!! Elo ya yang habisin??? Hah? Ngaku nggak!?" todong Mba Windy ke Willy yang lagi main games di hape gue.

"YAH! GAME OVER KAN!! MBA SIH PAKE TERIAK-TERIAK!" Ujar Willy ikut sewot.

"Kamu kan yang kemarin ngeprint tugas? Berarti kamu yang ngehabisin." tuduh Mba Windy lagi dengan suara lebih pelan. Soalnya barusan ditegur bunda.

"Dih kok jadi Willy sih?" sanggah Willy tak terima. "Mas Wildan tuh ngeprint tugas tengah malem. Berarti dialah!"

Gue mengangkat sebelah alis setelah merasa diperhatikan oleh Mba Windy. "Apaan?"

Mba Windy menjewer kuping gue. "Ih! Bukannya bilang daritadi!"

Tangan gue refleks mengelus telinga kanan gue setelah dilepas jewerannya. Sumpah cewek pms serem banget.

"Pergi sana ke fotocopy! Print-in tugas aku!" perintah Mba Windy dengan jiwa diktator.

Gue berdecak. Sekalian deh gue juga mau ngeprint tugas. "Yaudah mana sini uang sama flashdisk nya."

"Nih,"

Mba Windy memberikan flashdisk dan juga selembar uang dua puluh ribu.

"Sisa uang nya buat gue ya," kata gue sebelum menutup pintu.

"ENGGAK! GUE LAGI BOKEKKK!"

Gue pun sampai di fotocopy dekat rumah. Setelah mematikan mesin motor, gue masuk kedalam dan gak sengaja pas-pasan sama Acha.

Begitu Acha lihat gue, dia buru-buru pergi. Sampai lupa ada satu barang ketinggalan diatas etalase.

Gue awalnya cuek aja. Berusaha untuk tidak peduli lebih tepatnya.

Tapi tiba-tiba mas mas fotocopian bilang gini. "Bang, tugasnya sama ya sama anak cewek yang tadi? Temen sekolah?"

"Iya bang,"

"Yaudah kalau gitu, nih sekalian bawain. Tadi mbaknya ngeprint ini. Malah ketinggalan," Abang itu menyodorkan seplastik lembaran kertas.

Gue mengambilnya. Lalu berbalik kemotor setelah membayar. Tangan gue gatel banget buat ngelihat kertas yang barusan dia print.

Sret.

Gue menarik selembar kertas dari dalam plastik hitam ini.











'Dicari Kucing Hilang
....'













"Momo...?"















-Tbc-

Bentar lagi selesai kok. Maaf ya lama updatenya ^___^

Simple - Jeon Wonwoo ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang