09. Terbongkar

223 41 6
                                    






Sudah seminggu ini mood gue hancur banget. Ngomong cuman seadanya, keluar kamar cuman buat mandi sama makan. Apalagi kalau disekolah. Gue males banget ngapa-ngapain selain belajar. Sampe si Haikal ngelawak yang lucu banget malahan menurut gue itu lawakan hambar.

Ini semua gara-gara Momo yang hilang.

Bunda khawatir banget karena perubahan sikap gue akhir-akhir ini. Bahkan sampe nawarin mau dibeliin kucing baru. Dan gue makin ngambek. Tega banget mau cari pengganti Momo.

Willy diem-diem juga khawatir. Dia minta bantuan Andra buat nyari Momo. Dan Andra dengan baik hati menyiapkan pasukan. Pasukan cilik. Isinya anak SD di gang yang suka kerumah gue cuman buat main sama Momo.

Gue terharu banget. Tapi gue masih belum bisa menerima kehilangannya Momo.

"Wildan!" Haikal membuyarkan lamunan gue. Gue yang kaget jadi menatap sinis kearahnya.

Gue mengangkat dagu dengan dahi yang berkerut. "Hm?"

"Ck elah. Gak usah sok ganteng deh lo pake ha hem ha hem segala." balas Haikal balik sinis. "Ayo ke kantin. Lo udah seminggu loh gak ke kantin."

"Gak,"

"Dih, najis."

Setelah lima menit memaksa gue ke kantin, Haikal menyerah juga. Hebat juga ya dia betah maksa gue selama itu.

Gak berhenti sampe disitu, tiba-tiba Acha dateng ngehampiri gue. "Wildan," panggilnya lembut.

Gue cuman menoleh. Gak tau kenapa gue sebel banget sama Acha. Padahal gue gak tau siapa yang terakhir masuk gak nutup pintu. Tapi gue berasumsi kalau itu si Acha.

"Gak jadi deh. Wildan kayaknya masih marah sama Acha."

Dan ujung-ujungnya dia cuman ngomong itu. Dia kenapa sih? Gue udah gondok sama dia, malah bikin gue makin gondok.















Pulang sekolah mendadak hujan. Gue lebih memilih duduk didalam kelas sembari menunggu hujan reda. Tinggal beberapa orang dikelas. Sisanya menerobos hujan. Atau bisa saja mereka sedang dikantin.

Acha dengan jaket merahnya melewati gue yang duduk dekat pintu. Gue yakin dia mau menerobos hujan. Padahal masih deras banget.

Tapi... ngapain juga gue peduli.

"Aku duluan ya," pamit Acha dengan suara pelan. Cewek itu pun langsung berlari menerobos hujan dengan tas yang ia jadikan payung.

Oh iya payung. Gue kan bawa.

Setelah mencari payung dari dalam tas, gue pun keluar kelas sembari membuka payung lipat berwarna hijau cerah ((ini Willy yang milihin)).

"Wildan Wildan Wildan! GUE PULANG BARENG LO YA!"

Suara menggelegar itu berasal dari sebelah kiri gue yang bertepatan dengan kelas sepuluh. Hentakan kaki pun bisa gue denger. Setibanya disamping gue, cowok itu menyengir.

"Disuruh bunda lo anjir. Gausah galak gitu dong!" Andra menyolot gara-gara gue kasih tatapan sinis.

"Motor lo kemana?" tanya gue heran.

"Dibengkel,"

"Lo apain?"

"Bengong dijalan. Terus nabrak pohon."

Gue menggeleng tak percaya. Dasar. Badan doang bongsor, tapi otaknya wakwaw, maksud gue zonk.

"Eh bang, tadi kok Acha pulang sendiri. Gak lo anterin pulang?" tanya Andra mulai kepo.

"Menurut lo?" balas gue balik bertanya. Andra hanya menggaruk-garuk kepalanya.

Selama perjalanan pulang, tugas Andra cuman megangin payung sampe depan rumah. Padahal gue bawa jas hujan. Tapi dia gak mau. Bilangnya sih, "Udeh gak usah. Biar payung lo diliat semua orang dijalan. Hahaha!"

Motor gue pun masuk keteras rumah. Bunda langsung keluar nyamperin gue.

"Mas gak buka WA bunda ya?" tanya bunda sambil gue salimin.

"Enggak bun. Kenapa?"

"Mba Windy sakit. Tadi bunda nitip beli obat sama kamu. Tapi karena kamu gak baca WA, bunda nyuruh si Willy." jelas bunda. "Ayo ganti baju!"

"I-iya bun."

Tumben Mba Windy sakit. Ngapain aja dia? Perasaan kampusnya lagi libur. Kan nggak mungkin dia keluar rumah. Anaknya kan mageran. Masa iya dia sengaja main hujan-hujanan?

Nggak lama suara deru motor terdengar sampai dalam rumah. Willy datang sambil membawa seplastik kecil yang gue yakin isinya obat.

Bunda tersenyum lalu segera membawa ke kamar Mba Windy yang berada dikamar atas.

"Mas. Mba kenapa?" Willy bertanya setelah berganti baju.

Gue mengangkat bahu tidak tahu juga. Willy melengos pelan jadi pasrah.








Besoknya, hari Sabtu, gue pagi-pagi udah disuruh kepasar sama bunda. Disuruh gantiin Mba Windy yang biasanya kepasar.

"Kamu adiknya Windy ya?" Sapa seorang pedagang pas gue lagi membeli sayur bayamnya.

Refleks gue tersenyum dan mengangguk. Terkenal banget ya Mba Windy dipasar?

"Mirip banget soalnya." Sambung ibu itu. "Emang Windy kemana?"

"Sakit bu,"

"Oohhh, salam ya buat Windy. Semoga lekas sembuh."

Untuk kedua kalinya gue mengangguk sopan. Gue pun berjalan keluar pasar. Langkah kaki gue berhenti di penjual pancong yang berada didekat papan informasi pasar.

"Bang beli lima ribu ya," pesan gue. Karena bosan gue melirik papan informasi.



Bentar deh, kok ada foto Momo???



Poster yang gue lihat itu tentang kehilangan kucing. Dan gue yakin seratus persen kalo difoto itu Momo.

Mata gue turun lagi kemudian melihat nomor yang tertera disana.

Gak pake mikir, gue langsung menghubungi nomor yang ada disana. Berani-beraninya make foto Momo tanpa sepengetahuan gue


Setelah hanya nada sambung, akhirnya diangkat juga. Baru mau marah-marah duluan, tapi malah keduluan.




"Apasih dek? Kamu gak tau beli bayam dimana?"







Hah apaan sih?

Gue menjauhkan hape dari telinga dan langsung melihat layar hape. Dan ternyata nomor itu milik Mba Windy.







"Wildan? Halo? Lo kenapa sih? Mba Windy masih ngantuk nih,"












Jadi...








Mba Windy sakit gara-gara kemarin nyebarin poster ini?











-Tbc-

Simple - Jeon Wonwoo ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang