06. Pencarian Bersama

222 46 8
                                    

Kedua mata elang gue melirik sejenak pantulan diri gue dicermin. Gue menghela nafas sejenak sebelum akhirnya melangkah keluar kamar.

Hari ini kesabaran gue bakal diuji.

"Mau kemana?" tanya Mba Windy tiba-tiba pas gue baru aja menutup pintu kamar.

Gue melirik Mba Windy sebentar, lalu berdecak kecil. "Keluar,"

"Sama si Acha?" tanya Mba Windy lagi. Gue mengerang kecil karena malas menjawab. Mba Windy kenapa sih nanya mulu?

Akhirnya gue putuskan untuk nggak menjawab pertanyaan Mba Windy. Karena gue bukan google, tempat untuk bertanya.

"Ahhh sakit, mba!" keluh gue pelan karena secara mendadak Mba Windy mencubit lengan kiri gue.

"Jawab pertanyaan mba!" ancamnya kelewatan. Dia terus ngikutin gue kemanapun. Bahkan sekarang gue mau ke kamar mandi sebentar Mba Windy nungguin depan kamar mandi.

Ketika gue buka pintu kamar mandi, punggung Mba Windy langsung menegak dan menatap gue dengan tatapan mengintimidasi.

Gue menarik nafas dalam-dalam, "iya mba." jawab gue akhirnya.

"Apanya yang iya?" tanya Mba Windy terlihat bodoh.

Gue mengangkat bahu nggak peduli. Biarin aja nggak ngerti, kalau ngerti juga gak ada untungnya.

"Gue pamit dulu," izin gue ke Mba Windy.

"Yaudah sana," usirnya sinis. Tiba-tiba Mba Windy nahan lengan kiri gue sambil bilang, "Nggak bawa payung? Mendung tuh."

Gue menggeleng cepat. Buru-buru gue keluar rumah dan menghampiri Acha dirumahnya.

Semoga hari ini gue gak sial.

*

"Aku bawa toples satu doang. Cukup kan?"

Suara Acha mengalihkan atensi gue. Gue hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban.

Gue sama Acha jalan berdua ke belakang komplek. Disana masih banyak sawah. Tenang aja, gue kemarin udah izin sama petani buat nyari kodok disana.

Setelah sampai disana, gue sama Acha duduk sebentar disaung. Sambil menggulung celana, gue menjelaskan ke Acha tentang dimana dia harus mencari kodok.

"Ohhh, jadi kamu disebelah sana, aku disebelah sini, kan?" tanya Acha lagi memastikan.

Gue pun mulai memasukkan kaki kedalam petak sawah yang kosong. Acha mengekori gue dari belakang.

Kita berdua pun saling menunduk buat mencari kodok tanpa berbicara sama sekali.

Seperti yang kalian tau, Acha gak bisa diem mulutnya. Ngoceh terus, dan gak ada henti-hentinya bertanya.

"Wildan, kaki kamu putih banget sih? Kamu ikut perawatan ya?"

"Enggak." jawab gue singkat. Yakali gue perawatan. Body lotion aja kadang ketuker sama hot cream.

Suara dengusan nafas Acha masuk ketelinga gue. Cewek itu menegakkan badannya. Mungkin pegal karena terlalu lama membungkuk.

"Pinggang aku encok nih..." keluhnya pelan.

"Istirahat aja." ucap gue berusaha simpati dengan Acha.

Acha menggeleng, lalu mendadak berteriak. "Itu kodoknyaaaaa!" pekiknya bersemangat.

Dengan langkah lebar, Acha berlari ingin menangkap kodok yang ada diatas tanah. Tapi kayaknya ini cewek lagi ketiban sial. Entah emang Acha gak liat atau matanya emang siwer, kakinya kesandung batu terus kepleset karena licin. Dia nyusruk ketanah gitu aja.

Gue refleks meringis pelan. Ngerasain perasaan sakit yang dirasakan Acha. Aduh ngilu gue.

"Aduhhh!" keluh Acha sembari mengusap keningnya yang mendarat duluan diatas tanah. "Kok jidat Acha merah ya?"

Bodoh.

Tanpa pikir panjang lagi, gue mendekat kearah Acha. Lalu menariknya pergi menuju saung.

"Jidat Acha berdarah ya?" tanya Acha yang baru sadar.

"Iya." Gue menyodorkan sapu tangan yang selalu gue bawa di kantong celana. "Nih elap pake ini."

"Makasih." Acha tersenyum.

"Pulang gih. Gue aja yang nyari,"

"Enggak ah, tunggu disini aja." Cewek dengan baju training merah itu menggeleng kuat.

Gue mengangguk pelan, tapi nggak peduli juga sih sebenernya. Gue pun beranjak meninggalkan Acha dan kembali mencari kodok sendirian. Setelah sekian lama mencari, akhirnya tuh kodok ketemu juga.

Pokoknya sampe rumah gue harus minta tolong Mba Windy buat mijitin gue. Punggung gue pegel banget

"Sapu tangan kamu, aku cuci dulu ya dirumah." izin Acha sembari membetulkan kacamatanya.

Lagi-lagi gue mengangguk.

"Jangan lupa diobatin," Gue ngomong apasih? Kok jadi sok peduli gini.

Acha menoleh bingung. "Sapu tangannya diobatin? Pake apa?"

Nyesel kan gue sok peduli.

Gue mengehela nafas berusaha tenang. "Plester."

Acha mengangguk-nganggukkan kepala yang menandakan dia paham.

Gak yakin sih kalau Acha paham.










-Tbc-

Hai, lama tak berjumpa!

Simple - Jeon Wonwoo ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang