Menyusuri lorong rumah sakit yang sepi, Meghan mendesah pelan saat ia tiba di depan pintu kamar rawat inap sang adik yang tertutup rapat. Meghan mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Sylvia Ryan dan memberikan alasan yang tepat agar adiknya percaya kalau selama delapan bulan Meghan pergi ke luar kota untuk bekerja.
Memutar gagang pintu, Meghan mendorong pintu hingga terbuka sehingga ia melihat sosok yang begitu lemah dan rapuh tengah berbaring di atas ranjang. Sylvia tersenyum semringah melihat Meghan datang bersama sekeranjang buah, gadis itu meletakkan telunjuk di atas bibirnya sebagai isyarat agar Meghan tidak berisik sebab Psalm sedang tertidur pulas di sofa.
Psalm bukan bagian dari keluarga mereka, bukan pula seseorang yang Meghan bayar untuk menjaga adiknya. Psalm adalah sahabat Sylvia yang senantiasa berada di sisi adiknya selama Sylvia berjuang melawan penyakitnya. Meghan merasa bersyukur karena Sylvia memiliki sahabat seperti Psalm di dalam hidupnya, tidak seperti Meghan yang tidak memiliki seorang pun teman yang peduli kepadanya.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Meghan kepada Sylvia sambil meletakkan sekeranjang buah yang ia bawa di atas meja nakas.
"Lebih baik" jawab Sylvia, "Bagaimana interviewnya?"
Oh, kebohongan ini telah Meghan persiapkan matang-matang. Ia mengatakan kepada Sylvia kalau pagi ini ia melakukan interview di salah satu perusahaan besar agar sang adik percaya kalau selama delapan bulan Meghan pergi untuk bekerja, menjadi wanita Bryce Meyers dan Jan McKinley pasti tidak memungkinkan Meghan untuk menjenguk Sylvia setiap waktu.
"Berjalan dengan lancar, tapi mereka melemparku ke luar kota" jawab Meghan.
Alis yang tersusun rapi itu terangkat naik. Sylvia menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca tapi gadis itu mencoba untuk menyembunyikan kesedihannya dari Meghan.
"Semoga kau berhasil"
"Terima kasih" Meghan duduk di tepi ranjang, mengusap rambut Sylvia yang sudah sangat tipis karena rontok. Meghan ingat betapa hitam dan lebatnya rambut Sylvia dulu, tapi sayang penyakit yang menggerogoti tubuh gadis itu membuat keadaannya terlihat mengenaskan. "Aku berjanji akan sering menjengukmu"
Sylvia tersenyum tipis, "Tidak apa Meghan, fokuslah pada pekerjaanmu"
"Tidak ada yang lebih penting bagiku selain kesembuhanmu, Sylvia" Meghan menggenggam erat tangan adiknya, "Kau adalah gadis yang kuat, selama aku pergi kau harus berjanji akan berjuang melawan kanker sialan ini"
Air mata Sylvia jatuh bersama dengan kekehan kecil yang meluncur dari bibirnya, "Aku berjanji Meghan"
Meghan tersenyum lalu memeluk adiknya erat. Dia memejamkan mata, memeluk Sylvia cukup lama, dan berharap pelukan ini membekas dan dapat ia rasakan setiap kali ia merindukan adiknya. Meghan juga berharap ia dapat menjenguk Sylvia sesering mungkin walau waktunya kini telah menjadi milik Bryce Meyers dan Jan McKinley.
Setelah menghabiskan waktu selama 30 menit bersama Sylvia, Meghan pamit untuk yang terakhir kali kemudian meninggalkan kamar rawat sang adik dengan air mata yang tumpah. Di dalam lift Meghan berusaha menghapus air mata yang membasahi wajahnya, air mata yang tak dapat ia bendung mengingat dirinya tidak bisa berada di sisi Sylvia selama sang adik membutuhkannya.
Meghan berharap semoga dua pria bajingan kaya yang membelinya dapat segera menepati janji mereka untuk memberikan Sylvia penanganan medis yang terbaik. Terlebih lagi operasi harus segera dilakukan, ketakutan Meghan kehilangan sang adik dalam operasi yang akan Sylvia jalani sangatlah besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sold To Them (Completed)
RomanceWarning : Adult and explicit sensual content! Demi memperjuangkan hidup sang adik Meghan Ryan tidak punya pilihan selain menjual diri di dalam sebuah pelelangan. Sebelumnya Meghan tidak tahu kalau dirinya terjual kepada dua orang pria yang akan meng...