Majalengka, 2005
Sebuah kehidupan tanpa penerangan, nyaris membutakan mata saking gelapnya. Tak pelak membuat para penghuni kehidupan itu serasa mati di malam itu. Hanya obor dari minyak tanah terlihat menyala merah. Walaupun sudah modern, pemadaman listrik membuat desa itu jauh lebih kuno.
"Irena, Irena, jangan berlarian seperti itu Nak, sudah malam, tetangga sudah tutup semua pintunya. Ayo ke dalam," ajak Rumini, ibu Irena.
"Tidak mau, Bu. Irena masih ingin bermain. Bulannya terang malam ini, sayang kalau hanya diam di dalam."
Irena masih menerbangkan layang-layang yang tak bisa terbang. Dia hanya membawanya dengan berlari, tidak benar-benar menerbangkannya.
"Ayolah, Nak. Nanti kamu bisa sakit. Udara malam sangat dingin," bujuk Rumini.
"Bu aku mau tanya," Irena tidak tampak seperti akan menuruti perintah ibunya, dia malah duduk di bayang di halaman rumahnya. "Kenapa layang-layang bisa terbang?"
Rumini pun mengimitasi perlakuan anaknya.
"Karena ada angin. Kamu umur berapa sih, masa hal seperti itu saja tidak tahu," hanya gelengan sekilas dari Irena.
"Lima? Enam?" Irena bingung sendiri sambil menghitung dengan jarinya.
"Tujuh, sayang," Rumini melipat tangan ananknya menyisakan tujuh jari di tangan.
Irena tersenyum. "Ibu, kalau manusia bisa terbang tidak?"
"Janji setelah Ibu jawab kita ke dalam?"
"Ah Ibu tidak asyik."
Lama kesunyian di antara mereka, suara jangkrik paling keras menyahut. Suara daun yang bergesekan karena desakan angin. Irena memosisikan tubuhnya berbaring dengan bantal pangkuan ibunya.
"Lho kok malah mapan di sini?" Rumini mengangkat kepala Irena dan mendudukkannya. Tapi Irena tiduran lagi.
"Ibu jawab dulu, katanya. Selepas itu baru masuk."
Rumini menyesali perkataannya tadi, mengalihkan pembicaraan dia membahas hal lain yang sekiranya bisa membuat anaknya nurut.
"Nanti Bapakmu pulang dimarahi lho ketahuan masih nyantai-nyantai di luar. Ayo masuk aja."
Praktis Irena bangun dari tidur nyamannya. Membulatkan mata seolah baru ingat, malam ini bapaknya pulang setelah tiga hari berada di tambak.
"Ibu kenapa baru ngomong sekarang?" Irena terburu-buru lari ke rumah.
Sementara Rumini tersenyum puas melihat anaknya tidak bisa membantah jika sudah menyangkut bapaknya. Irena takut dengan bapaknya.
Irena pun tiduran di kasurnya. Dia bermain dengan bayangan tangannya. Menimang-nimang, dia tidur dulu atau menunggu bapaknya sampai rumah.
"Tidur saja. Sudah ngantuk juga tuh."
Rumini mengelus-elus anaknya agar segera tidur. Cahaya putih dari lampu tiba-tiba menyala. Rumini bangkit untuk menyalakan lampu-lampu lainnya.
"Bu, Ibu belum menjawab pertanyaanku tadi," Irena mengingatkan ibunya. "Manusia bisa terbang tidak?"
"Bisa," jawabnya singkat.
Irena hanya mengangguk anggukkan kepala. Setelah itu dia pamit ibunya untuk tidur terlebih dahulu.
"Kamu tidak tanya alasannya?" Rumini mengernyit lantaran Irena tidak membalas pernyataannya.
Irena mengedikkan bahu dan menguap. "Memang kenapa kalau aku tidak tanya alasannya? Kan aku mau tahu jawabannya bisa atau tidak. Itu saja."
Menghela napas, Rumini dengan sabar memberi pengertian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Short Stories
Short StoryKetika sesuatu yang sedang berkelana di dalam otak kita, mencari setiap detail kata, yang akan tersusun menjadi sebuah cerita. Sesuatu itu adalah imajinasi.