Bagaimana perasaanmu jika dokter mengatakan bahwa penyakit yang kau derita tak pernah ditanganinya atau bahkan dilihatnya?
Wah.
Sedang apa dokter ini, bercanda ya? Nggak tahu apa ibuku menahan tangis sekarang?
Aku menenangkan ibu dengan mengusap bahunya pelan dan menuntunnya duduk di samping kakak.
"Maaf, maksud dokter, penyakit kakak saya langka?" tanyaku hati-hati, walau sudah gemuruh jantungku.
"Begini, ini hanya diagnosis saya. Karena selama saya buka praktik di sini dan belum ada penyakit seperti pasien, ehm jadi anda bisa menyimpulkannya seperti itu," papar dokter Sailan Sp penyakit dalam.
Penjelasan dokter Sailan bin sialan. Ibuku menangis.
"Untuk lebih jelasnya, anda harus tes darah terlebih dahulu di lab kami. Tapi tempatnya di ujung pertigaan depan sana," lanjut dokter.
Double wah.
Iya kalau pasiennya nggak terlalu gawat, masih nyampe labnya tepat waktu, lah kalau pasiennya arest terus mesti cek lab cepat, wah wah wah, bisa mati di jalan dia.
"Ini surat rujukan dari saya, masih jam 20.45 lab masih buka, 15 menit lagi tutup. Saya tawar sekarang atau hari sabtu?"
"Sekarang saja dok," jawab ibuku lemas.
Kakakku diam saja dari tadi. Aku tahu dia begitu khawatir terlihat dari sorot matanya. Kugenggam tangannya. Dia menoleh.
"Senyumin aja walau sulit, jangan kalah sama penyakit langka sialan itu," dia tersenyum, kubalas senyumannya.
"Kalau labnya tutup, tidak perlu kembali ke sini, cukup hari sabtu saja langsung ke lab, lalu bawa hasilnya ke saya," dokter itu tersenyum ramah pada ibuku.
Huh sudah tua, botak lagi, masih mau merayu ibuku ya?
Kucoba tersenyum simpul dan berpamitan pada dokter. Mengejar waktu tinggal sepuluh menit lagi.
Kami sampai di lab pukul sembilan lewat lima menit. Ibuku masih memohon-mohon pada penjaga lab agar kakakku bisa di tes sekarang.
"Saya mohon Mbak, kasihan anak saya, ini surat dari dokter Sailan," ibuku mulai menangis lagi.
Aku di luar lab dengan ayah. Melihat ibu yang mulai menangis aku mendekati ibu.
"Ibu, kita pulang ya, hari sabtu aja kita kembali. Kasihan kakak juga udah capek," air mata ngapain ikut turun sih, nanti ibu tambah nangis.
"Sabtu saja Bu, kakak pengen cepet tidur," ucap kakakku sedih.
"Maaf Mbak atas ketidaknyamanannya, ini memang sudah peraturan," kata penjaga lab itu sopan.
Kutarik napas panjang dan menghembuskannya kasar.
"Semoga keluarga Mbak nggak ada yang dapet pengalaman kayak kakak saya, permisi," dapat kulihat dia tersenyum sinis.
Kami pulang dengan tangan kosong. Tanpa kepastian dari penyakit kakak.
***
SLE.
Malam sepulang lab, aku tidak bisa tidur. Tiga huruf itu berhasil meyita jiwa dan ragaku untuk tetap terjaga.
Walau hanya diagnosis dokter yang katanya belum pernah menjumpai penyakit itu pun, aku tetap saja searching mengenai SLE.
Dan boom.
Bom waktu meledak.
Lupus?
Kumatikan ponselku dan membantingnya ke lantai. Tanganku gemetar, dadaku naik turun, air mataku lolos.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Short Stories
Short StoryKetika sesuatu yang sedang berkelana di dalam otak kita, mencari setiap detail kata, yang akan tersusun menjadi sebuah cerita. Sesuatu itu adalah imajinasi.