"Kinan, kamu baik-baik saja kan, Nak?"
Hampir tiga bulan sejak adanya pandemi covid-19 Kinan selalu mendengar pertanyaan itu di setiap paginya, tapi kali ini bukan dari Mamanya.
"Hem, Kinan baik-baik saja, Bi. Mama kambuh lagi ya?"
Awalnya Kinan menelepon Mamanya untuk meminta dukungan. Kinan harus menelan harapan ketika Bibi yang mengangkat teleponnya. Dia sangat lelah setelah kemarin banyak pasien covid rujukan berdatangan di rumah sakit tempatnya bekerja. Walaupun bukan dokter spesialis paru, Kinan tetap membantu menangani pasien covid karena dokter yang berjaga tengah kewalahan.
"Iya, Nak. Subuh tadi Mama mengamuk minta ke kampus. Katanya kasihan kamu sudah lama menunggu." Bibi menyeka air matanya yang turun tanpa bisa dicegah. "Sekarang Mama masih tidur setelah diberi obat penenang."
Kinan benci situasi seperti ini. Dia masih kesulitan bicara jika sudah menyangkut ibunya yang kambuh. Padahal sudah lebih dari sepuluh tahun telah dilaluinya. Dengan sesenggukan dia mengatakan pada Bibi akan menutup telepon karena dia harus segera berangkat kerja dan dia belum bersiap sama sekali.
"Hati-hati ya, Kinan. Selalu jaga kesehatan. Bibi tutup dulu. Wassalamualaikum."
Tidak membalas salam dari Bibi, Kinan menangis sambil memeluk lututnya. Rambutnya yang panjang menjuntai berantakan di sisi tubuhnya, tidak dipedulikan. Dia menangis bukan karena kondisi ibunya, melainkan dia kecewa pada dirinya sendiri.
"Ma maafkan Kinan. Maaf Kinan belum bisa mengunjungi Mama."
Sebelas tahun lalu Kinan masih duduk di bangku kuliah, terjadi tragedi yang melatarbelakangi kondisi mental Mama Kinan. Saat itu Kinan dan Mamanya berencana merayakan pesta sederhana atas diterimanya Kinan di salah satu kampus favorit. Karena hari pertama masuk kuliah, jadi hanya membahas rencana dan kontrak pembelajaran, dan perkuliahan selesai lebih awal. Kinan menunggu Mamanya di depan gerbang kampus. Tidak terlalu lama Mama Kinan sudah sampai di seberang jalan. Mama hendak berjalan ke arah Kinan, namun lebih dulu Kinan yang berlari menghampirinya. Mama pun menyambut putri kesayangannya itu dengan rentangan tangan.Namun, nahas, kebahagiaan itu telah berubah menjadi kemalangan dalam sekejap. Kinan sempat kritis setelah selesai dioperasi, tapi dokter memastikan Kinan akan segera melewati masa kritisnya dan sembuh seperti sedia kala. Benturan mobil di perutnya memang parah, tapi dengan operasi bisa disembuhkan. Namun, ada yang berbeda dari Mama Kinan. Saat Kinan kecelakan, Mama tidak menunjukkan respon sama sekali. Bahkan saat Kinan di bawa pergi ambulan, Mama seperti orang linglung berjalan tanpa arah. Hari- hari berikutnya hanya diam di rumah dan tidak pernah mengunjungi Kinan selama di rumah sakit. Setelah Kinan sembuh dan diperbolehkan pulang, reaksi Mama di luar dugaan. Mama berteriak histeris, marah-marah, dan melempar semua barang di sekitarnya ke arah Kinan. Kinan syok. Bibi dan kerabat membantu menenangkan Mama dan membawa Kinan ke kamar. Sejak saat itu Mama didiagnosis PTSD oleh dokter.
Lamunan Kinan seketika buyar karena dering ponsel.
"Halo, selamat pagi dokter Kinan. Mohon maaf menelepon pagi-pagi. IGD sedang ramai, dan saya tidak melihat dokter di sini. Ada satu pasien anak positif covid baru saja di jemput ambulan dari rumahnya. Kami menunggu perintahmu dokter."
Kinan berdehem menormalkan suaranya, kemudian menjawab.
"Bagaiamana kondisi anak itu?"
"Pasien sadar, terdapat ruam di tangan dan kaki. Tekanan darah 95/60 mmHg. Hai gadis manis, Om dokter periksa boleh? Om tekan perutnya ya, nanti kalau sakit bilang ke Om dokter, mengerti?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Short Stories
Short StoryKetika sesuatu yang sedang berkelana di dalam otak kita, mencari setiap detail kata, yang akan tersusun menjadi sebuah cerita. Sesuatu itu adalah imajinasi.