Bertempat di sebuah lorong panjang. Tak terlalu gelap untuk bisa melihat sekitar. Di sepanjang lorong berdinding-dinding. Ratusan lukisan tertempel. Kulihat diriku mulai bergerak dari posisi awal di tengah lalu-lalang orang. Berbaur dengan lainnya layaknya tur galeri dadakan. Sepotong hatiku meragukan tempat ini dan apa yang sedang kulakukan. Aku berbalik ke titik awal. Namun, keanehan yang kudapat. Tatapan orang-orang seolah mengintimidasiku garang. Kakiku gemetaran, ada kilatan tak biasa di mata mereka. Serupa dua magnet beda kutub yang didekatkan, aku terbius olehnya.
Kembali menyusuri lorong yang kurasa lebih gelap dari sebelumnya. Menapaki lantai marmer dingin yang janggal karena lorong ini di bawah jembatan. Kenapa ada marmer di bawah jembatan? Kutengadahkan kepala, sarang laba-laba di mana-mana. Lukisan-lukisan di sepanjang lorong tak menarik minatku. Atensiku teralih pada langit-langit dan marmer yang kupijak. Tempat apa sebenarnya ini? Apa semua ini nyata?
Kurasakan tatapan tidak suka mengarah padaku. Ahh, mereka mendengar gumamanku rupanya. Pun terpaksa mengabaikan rasa penasaranku, jadinya. Cukup lama berjalan tanpa suara karena mereka hanya diam, bahkan suara napas mereka tidak tertangkap inderaku. Keringat dingin mulai membasahi dahi. Ada yang aneh di tempat ini dan orang-orangnya. Aku mendahului jalan mereka, sedikit berlari berharap lorong ini cepat berujung. Namun, cahaya yang kuyakini adalah ujung lorong, semakin jauh kemudian hilang tanpa bekas.
Aku berhenti berlari, menoleh ke belakang tapi mereka tidak ada. Mengamati sekitar dan aku menemukan sebuah lukisan yang menarik. Kuamati, kuraba, dan kutafsirkan menurut pendapatku. Lukisan ini sangat menakutkan, sangat gelap hingga aku sesak seperti tenggelam di samudera Hindia. Hanya coretan liar nan abstrak dengan warna dominan biru gelap cenderung hitam dan gradasi warna yang bertekstur mampu menaarikku ke dunia penuh fantasi, sihir, kegelapan tak berujung, sangat magis. Aku memejamkan mata erat-erat, merasakan tulang-tulang dan persendianku ngilu kedinginan, rasanya seperti dikuliti hidup-hidup. Dalam pejaman mata, mereka mendekat dan meraih-raih tubuhku dengan tangan panjang mereka yang melebihi ukuran manusia normal, lantas membuatku bergidik. Kubuka kelopak mata, lukisan itu hilang. Dan aku masih sendirian. Suasana sangat tenang menyiratkan sesuatu yang buruk mungkin segera datang. Aku berlari lagi, terus berlari hingga tanpa kusadari ada batu besar di hadapanku. Sialnya remku blong, aku menabrak keras-keras batu itu. Terakhir, aku pun tak sadarkan diri.
***
Lolongan panjang mirip anjing dan serigala bersahutan. Menyadarkanku lantas berdiri tegak. Kucek satu-satu bagian tubuhku, tanpa lecet sedikitpun. Setelah memastikan kondisiku baik-baik saja – walaupun agak aneh karena aku yakin jika tabrakan tadi setidaknya membuat patah tulang – aku mengamati ruangan tempatku berada. Tidak ada lorong gelap berikut ratusan lukisan horor, berganti ruangan minimalis tanpa perabot. Ada pintu pelitur di pojok kanan, lumayan rendah untuk ukuran pintu pada umumnya. Kupegang handel, kutekan ke bawah kemudian muncul bunyi khas pintu terbuka lantaran tidak dikunci.
Perlahan pintu itu terbuka. Menampilkan halaman luas dengan lantai pualam putih dan langit-langit tinggi berhias lampu gantung nan indah dan pilar-pilar besar menjulang. Tempat apalagi ini? Kutepis rasa takut yang sempat lewat, beralih ke tengah halaman. Sesekali aku menengok kiri-kanan. Tidak ada siapa-siapa. Sibuk mengamati interior khas renaissance yang kuduga adalah kastil bergaya Belanda abad pertengahan itu, aku dikejutkan oleh kedatangan tiga orang paruh baya dengan matel gelap semata kaki lengkap dengan tudung menutupi kepala. Dua diantaranya memperkenalkan diri sebagai maid dan wanita di tengah mendekatiku. Kurasa dia pemimpinnya.
“Bienvenido.”
Suara wanita itu menggema di seluruh penjuru. Berhasil menegakkan bulu-bulu halus di tengkuk dan sekujur tubuhku hanya dengan mendengar suaranya. Wanita itu melepas tudungnya dan mengulurkan tangannya padaku. Kami berjabat tangan. Seketika aliran darah di pergelangan tannganku membeku dan menyumbat pembuluh darah menuju jantung dan otak. Aku mati rasa. Auranya saat mengucap ucapan selamat datang – entah bagaimana aku mengerti bahasa yang dia gunakan – sangat mematikan. Buru-buru kulepas jabatan singkat itu dan beraangsur hangat kembali. Wanita dan antek-anteknya itu meninggalkanku dengan senyum ramah.
“Di mana ini?”
Pertanyaanku terlontar sebelum mereka benar-benar menjauh. Wanita itu mengisyaratkanku untuk diam dengan desisan panjang dan telunjuk di bibir serta picingan mata tak nyaman.
“Baiklah, kalau begitu di mana pintu keluarnya? Aku ingin pulang. Kalian bisa menunjukkannya?”
Ops! Kurasa arti diam bagi mereka itu sungguhan, mereka terlihat marah besar. Apalagi wanita itu sudah menggertakkan gigi-giginya hingga terdengar bunyi gemeletuk. Sekian detik aku tertangkap, tanpa melawan atau kabur karena tempat ini penuh sihir, hanya jentikan jari si wanita, aku tertidur. Kedua kalinya aku tidak sadarkan diri membuatku takut membuka mata. Menerka-nerka di mana aku selanjutnya. Berharap semoga semua yang kualami hanya mimpi buruk belaka dan aku terbangun di kasur empuk beserta bantal kesayanganku di kamar. Hanya khayalan semu, aku duduk terpekur di kerumunan orang-orang bertudung. Mereka membentuk lingkaran dengan aku di tengah-tengah, mengelilingku. Gerakan tangan mereka serempak seolah memuja sesuatu dan gumaman mereka terucap mantra.
Sebuah distopia terkutuk, ada apa dengan mereka?
Aku berdiri hendak pergi dari sana, namun mereka juga berdiri dan berjalan mengelilingiku. Senandung mantra mistis tiada henti turut membuatku ketakutan. Belajar dari sebelum-sebelumya aku menguatkan hatiku agar tak lagi takut. Takut hanya membuatku pingsan dan harus mengulangi situasi menakutkan dari awal yang pastinya lebih buruk lagi. Menghela napas dalam-dalam, aku mengamati keadaan sekitar. Aku berada di ruang terbuka dengan temaram cahaya bulan yang separuh tertutup awan gelap. Mereka masih memutariku. Kucoba berkomunikasi dengan mereka.
“Maaf, sebenarnya apa yang sedang kalian lakukan?”
Mereka berhenti. Memandang wanita pemimpin dengan tatapan tanya menunggu keputusan.
“Kamu tidak perlu tahu apa-apa, gadis muda. Cukup diam jika kamu ingin segera kembali ke tempat asalmu.”
“Bagaimana aku bisa diam jika yang kalian lakukan membuatku tidak nyaman? Setidaknya jelaskan ini di mana atau kenapa aku bisa ada di sini. Terlalu membingungkan untuk akalku.”
Wanita pemimpin itu terlihat geram. Mungkin dia sedikit terusik dengan ocehanku. Kulihat dia mendongak menatap awan sebelum kemudian dia membubarkan orang-orang.
***
“Kamu pasti ketakutan, gadis manis. Kemarilah, duduklah di sampingku.”
Aku beringsut mendekatinya. Tidak melawan, sepertinya wanita itu sudah jauh lebih tenang daripada sebelumnya.
“Hal yang wajar jika kamu sejak awal bertanya-tanya, sedang di mana ini, di bumi bagian manakah ini, atau yang terburuk apa aku telah tiada dan tidak ada di mana-mana. Nak, sebelum aku bercerita lebih jauh dan kamu bertambah bingung ini nyata atau tidak, kutegaskan dan mudah-mudahan kamu paham.” Yakinilah duniamu tidak seluas yang kamu bayangkan.
Aku diam bersiap mendengarkan. Wanita itu seolah berubah seperti nenek-nenek yang akan mendongengkan cucunya sebelum tidur. Sangat hangat.
“Yakinilah, Nak, duniamu tidak seluas yang kamu bayangkan. Dunia yang kamu sadari tidak lebih seperti gunung es di permukaan laut sedangkan bagian besar dari gunung es tersebut tenggelam jauh di dalam lautan. Itulah Subconscious Mind atau alam bawah sadar. Percaya tidak percaya, bahkan seorang Freud sudah menelitinya alhasil dia dikenal sebagai Bapak Psikoanalisis. Sungguh hebat jika kamu mampu mengendalikan emosi negatif yang muncul di alam bawah sadarmu dan memanfaatkan emosi positif yang juga bisa muncul. Maka kamu pun bisa mengendalikan alam bawah sadar sebagaimana seharusnya.”
Kupikir bacaan dongeng telah berubah dari masa ke masa. Aku masih berusaha mengerti apa yang telah wanita itu katakan.
“Tidak perlu terburu-buru, Nak. Kamu bisa istirahat sejenak. Ambil napas. Jangan paksakan alam sadarmu bertanya-tanya kemudian lupa tidak memberikan waktu alam bawah sadarmu mencerna. Bangunlah dulu. Metode untuk menggali pikiran alam bawah sadar bukan hanya lewat mimpi.”
Aku terbangun. Masih pukul tujuh pagi, hari yang cerah tapi entah kenapa tubuhku sangat lelah. Tirai jendelaku sudah dibuka Mama. Cahaya matahari memenuhi kamarku.
#Selesai#
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Short Stories
ContoKetika sesuatu yang sedang berkelana di dalam otak kita, mencari setiap detail kata, yang akan tersusun menjadi sebuah cerita. Sesuatu itu adalah imajinasi.