EPS 07

583 23 5
                                    

EPS 07

Satu Minggu setelah aku mengungkapkan dan menceritakan isi hatiku kepada Umi, Abah pun memanggilku untuk memastikan kebenarannya tentang perasaan ku itu, dengan rasa takut dan kuatir aku pun berjalan menemui Abah, ternyata Abah dan Umi sudah menunggu ku sejak tadi, kemudian aku pun duduk di samping Umi, Hingga Abah menegurku.

“Nduk, Opo bener sing di sampaikan Umi? “ Tanya Abah lembut

Aku Hanya dapat mengangguk sebagai isyarat jawaban “iya” ku dan sambil menundukan wajahku, kedekatanku kepada Abah tidak terlalu dekat, di banding kedekatanku kepada Umi, sehingga kepada Umi aku pun berani untuk menceritakan semuanya.

“Nduk, Yang namanya jodoh Abah juga tidak tau, Tapi jika Hasna menginginkan bersama Ilham, Abah kurang setuju, bukan tidak setuju tapi kurang setuju nduk” Jelas Abah

Mendengar Jawaban Abah tentang ketidak setujuannya, membuat hatiku sangat sedih sekali, Aku tidak bisa melakukan apa-apa, ketika Abah mengatakan tidak, mungkin hanya Air mataku saja yang mulai menetes sebagai ungkapan kesedihanku, sedikit kecewa dengan keputusan Abah tak sesuai keinginan hatiku. Gumamku.

Kembali abah melanjutkan pembicaraannya, aku hanya dapat menundukan wajah dan menahan tangisku, sekalipun tanpa terasa air mataku ini tak juga dapat ku tahan, terus saja mengalir.

“Hasna kan tahu, kang Mas Hasna sudah mengajar di pondoknya masing-masing, hanya tinggal Mas Fauzan yang masih disini, Yang membantu Abah, dan Abah berharap Hasna sebagai Putri Abah yang paling bungsu, setidaknya Calonnya yang mampu meneruskan pondok Abah ini” Jelas Abah

Umi yang berada di sampingku mulai membunjuk dan menenangkanku.
“Nduk, Abah bukan tidak setuju, namun kurang setuju jika ada yang lebih baik” jeas Umi

Umi berusah menbujuk dan mengusap-usap pundak ku, namun aku masih belum bisa menerima keputusan ini, disisi lain aku pun tak berani untuk membantahnya, aku hanya terdiam dan menunggu kejaiban saja yang dapat merubak keputusan abah dan umi.

“Nak Ilham kan baru 2 Tahun mondok disini nduk, Opo sudah mampu meneruskan Pondoknya Abah? Tanya Abah

Karena Aku hanya terdiam tanpa menjawab pertanyaan Abah, Abah pun melanjutkan bicaranya, Hingga aku pun berfikir membenarkan, apa yang di katakana Abah.

“Di sisi lain, Hasna juga kan belum mengenal Nak Ilham toh, Yo lek Nak Ilham purun, Lek mboten opo Abah kudu mekso ta nduk?” Jelas Abah

Benar juga apa yang di katakana Abah, tapi hatiku dan fikiranku belum memikirkan ke arah itu, karena bagiku restu dari Abah saja itu sudah membuatku bahagia.

Namun harapan itu tampaknya sekarang sulit, hanya kejaiban saja yang meluluhkan hati Abah.

Setelah perbincangan itu, aku hanya dapat menangis di kamar mengingat keputusan Abah yang kurang merestui aku untuk bersama Mas Ilham, kesedihan yang sulit ku lukiskan, hanya tangisan sebagai ungkapan gambaran ketidak mampuanku untuk berbuat apa-apa, di tambah ketika kesedihan itu kurasakan, Suara Azan Mas Ilham yang menghiasi pondok, semakin membuat menyayat-nyayat hatiku.

Aku memperjuangan perasaanku ini tanpa dia ketahui, aku menangis tanpa dia menghiburku, jika benar apa yang di katakana Abah, diya menloak perasaanku, betapa kasihannya diriku, telah menumpahkan air mata untuk orang yang tak mengerti diriku, menghabiskan waktuku sementara dia berpaling dariku. Gumamku

Apa benar dia menolak?
Aku pun bertanya pada diriku sendiri, sehingga aku mempunyai jawaban untuk membuktikannya, apakah benar dia menolak perasaanku?.

Setelah aku menemukan jawaban itu, aku pun berhenti menangis karena kesedihanku, sepertinya jawaban itu menjadikan bisikan semangat untuk mengetahui dan mengenal seperti apa sih Mas Ilham sebenarnya.

Apa diya mau menerimaku apa adanya, dengan kemanjaanku yang seperti ini tak bisa apa-apa?
Namun harapku dengan bersamanya dia dapat membahagiakan aku, dan dapat mengajarkan aku untuk hidup mandiri. Gumamku
==================================  

Di dalam kamarnya Nadia tiba-tiba perasaannya kurang enak, setelah fikirannya terlintas memikirkan Ning Hasna, sudah sejak dari kemarin Nadia tidak mampir ke kamarnya seperti biasanya.

“Ono opo yo perasannku gak penak” Gumamku

Tanpa pikir panjang aku pun melangkahkan kaki ku meninggalkan kamar menuju Kamar Ning Hasna, di depan pintu kamarnya, aku pun mulaimengetuk pintunya dan berharap dia baik-baik saja.

“Ning” Panggilku

“Masuk Nad”
Jawaban terdengar dari arah balik pintu, suara yang tidak asing ku dengar yaitu suara Ning Hasna sendiri, setelah dia mengizinkan ku, kemudian aku pun masuk kekamarnya., namun cukup mengejutkan ku, setelah aku masuk dan melihatnya,tampak wajah Ning Hasna lebam karena tangisan.

Aku pun duduk disampingnya, belum saja aku menanyakan apa yang terjadi, tiba-tiba saja dia memeluk ku dan mengatakan sesuatu.

“Nad, Abah tidak setuju” Jelasnya

Aku hanya terdiam sesaat, bingung tentang ucapannya, “bahwa Abah tidak setuju”, setuju dari apa? Gumamku

Untuk menjawab penasaranku, aku pun menanyakan padanya, dan berharap mendapat jawaban dari ketidak setujuan Abahnya.

“Tidak setuju tentang apa Ning? Tanyaku Sambil menenangkan kesedihannya
“Abah tidak setuju aku dengan Mas Ilham Nad” Jelasnya

“Mak deg hatiku rek” Gumamku

Mendengar Nama ketidak setujuan dengan Kang Ilham, membuatku cukup terkejut, namun aku mencoba menahan kekagetan dan kegelisahanku di depan Ning Hasna, Ternyata selam ini kita memperhatikan orang yang sama, Orang yang sama-sama kita menginginkan namun masih memendamnya perasaan itu.

Untung saja perasaan ku itu tidak aku ceritakan sama Ning Hasna, andaikan aku menceritakannya, bisa menambah kesedihannya dan bisa jadi kamar ini banjir dengan air mata tangisannya.

Beberapa saat aku pun mengatur nafas agar terlihat biasa saja, dan mencoba membujuk dan menghiburnya, meskipun sebenarnya hatiku juga cukup terkejut jika orang yang selama ini aku perhatikan, sudah menjadi pilihan Ning ku sendiri.

“Tidak setuju karena apa Ning” Tanyaku

CINTA DI BALIK AZANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang