Lusi mengambil gerak cepat, membiarkan piring dan gelas yang kotor berserak di tempat cuci piring.
Lusi segera mandi dan berganti baju, ia merapikan rambut pendeknya setelah itu memakai sneakers putih dan menyomot tas ransel hitam yang bertulis "hug me" di bagian depan.
Ia melirik jam tangannya,
'Sepertinya sudah lebih dari lima menit.'
Lusi mulai sedikit khawatir, ia merasa tidak enak pada Dian.
'Kenapa harus merasa bersalah?'
Kakinya bergetar naik turun, sesekali merapikan rok abu abu miliknya, atau blouse garis - garis hitam yang ia kenakan.
'Ah, ini dia busnya.'
Ia melangkahkan kaki maju kemudian, setengah meninggalkan halte dan berusaha meraih pintu bus dengan berdesak - desakan.
'Mau kemana semua orang pagi - pagi begini? Inikan hari minggu?'
Tiba - tiba, terasa berat tangan Lusi, bukan karena membawa sesuatu, melainkan ada genggam yang menariknya, ada jemari kekar yang memenuhi tangan kecilnya hingga sedikit memerah.
"Lusi?"
Lusi menoleh, ia gelagapan. Seperti biasa, sikap itu yang ia miliki ketika berhadap dengan makhluk laki - laki.
Ia tak menjawab, rambut pendeknya segera menoleh ke lain arah. Dan berusaha sekuat tenanga melepas genggam lelaki itu.
"Aku minta maaf, Lusi. Ijinkan aku.."
"Cukup."
Lusi beradu perang dengan batinnya. Ia tak menyangka, lelaki yang ia tangisi semalaman, kini ada di hadapannya.
'Tapi aku tak bisa. Aku tak mungkin menelan apa yang sudah ku buang.'
'Dan aku juga tak sudi menaiki harap yang terlanjur patah.'
Lelaki itu melanjutkan cakapnya
"Lusi dengarkan aku. Aku tahu ini sudah lama dan berlalu. Tapi aku.."
"Leo! Lepas!"
Lusi memberontak, ia mendorong tubuh kekar Leo kuat - kuat, setidaknya berhasil meski hanya ada sedikit jarak.
Leo berusaha mendekat, sedang Lusi memberi sekat.
"Diam disitu, jangan berani - berani kau dekati aku!"
Leo terperanjat kaku. Badannya seperti di palu oleh hujaman tatap mata Lusi yang ia pahami banyak dera di dalamnya.
Ia paham sekarang mengapa gadis se-menyenangkan Lusi, kini berubah menjadi amat pemalu.
Ia menyesali hal itu.
Tangan Lusi yang merah ia elus dengan gusar, sambil berjalan seribu langkah menjauh dari pria memuakkan seperti Leo.
Ia terus menggerutu sepanjang jalan, bara api dalam dirinya tersungut - sungut hingga asapnya mematikan.
Ia bahkan lupa jika memiliki janji dengan Dian.
'Bresssss'
Hujan tiba - tiba turun tanpa kata ampun. Derasnya mungkin sama dengan detak jantung Lusi yang kini tak karuan.
Lusi pasrah, ia berjalan pelan meski ia tahu harusnya berteduh.
Ia menangis tetapi entah mengapa ia tak tahu alasannya.
Dadanya perih, logikanya patah, hatinya lelah. Semua permainan ini membuat dirinya muak dan segera ingin kembali ke rumah.
Tiba - tiba payung hitam yang amat besar berada di atasnya, Lusi mengangkat tajam alisnya dan reflek menoleh ke arah kanan.
Ia takut jika itu Leo, dan bersiap untuk mengumpat jika benar itu dia.
Namun itu bukan Leo.
Lusi tak percaya dengan penglihatannya, hentakan kakinya berhenti, ia menatap ke atas, dan didapatinya seorang lelaki.
"Kamu siapa?"
"Aku Gilang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pria Dingin dan Wanita Pemalu
RomanceJangan menghindariku, pun jangan berulah denganku Jangan menjauhiku, pun jangan mendekat padaku