"Aku bisa jelaskan, kemarin aku panik dan aku tahu aku salah. Tidak seharusnya ku berikan alamatmu pada Kak Gilang. Lusi, maafkan aku."
Lantunan lagu mellow senandung hujan penuh mengelilingi kepala Lusi.
'Ramai sekali.' gumamnya
'Sayang hatiku sepi.'
Lusi melanjutkan langkahnya. Pagi ini Lusi harus berangkat lebih awal karena sudah memiliki janji dengan Kina.
Karena sudah tiga hari tidak berangkat, Lusi harus berangkat lebih awal untuk meminjam catatan yang sudah terlewat.
Bus pemberhentian sudah menunggu Lusi, sekarang pukul 5 pagi.
Dingin sekali, rembes air hujan semalam masih terlihat bekasnya.
Gemericik gerimis menggauli tiang - tiang halte, perlahan.
Lusi termangu, kemudian mendengku lagi tatapnya. Langkahnya malas namun harus
Lusi harus siap meski sebenarnya tidak. Lusi harus getir meski sebenarnya parau.
Entah apa yang akan Lusi lakukan ketika nampak Dianara di sekolah nanti.
Entah apa yang akan Dian lakukan ketika berpapasan dengan Lusi.
Bis pun melaju pelan ke arah sekolah. Lusi terduduk di sudut bis itu, mengenakan jaket merah jambu.
...
"Aku bisa jelaskan, kemarin aku panik dan aku tahu aku salah. Tidak seharusnya ku berikan alamatmu pada Kak Gilang. Lusi, maafkan aku."
Suara itu terngiang ulang.
Lagi
Lagi
Dan lagi
"Lusi!"
"Kak Gilang?"
Gilang tersenyum, alis dan lekuk kelopaknya semenenangkan senja. Entah mengapa, gundah milik Lusi seakan sirna.
"Sudah sehat?"
Lusi mengangguk perlahan, tersenyum sekadarnya.
Kemudian Gilang mengantar Lusi hingga ke pintu depan kelasnya. Kelas Bahasa.
"Lusi, aku bawa motor. Nanti kuantar pulang ke apartement ya."
"Ah, tidak usah re.."
"Ssstt... Tidak repot! Harus mau."
Lusi diam, Gilang tersenyum. Ditariknya kembali jari telunjuknya menjauh dari bibir oranye milik Lusi.
Kemudian Gilang turun, kembali ke kelasnya.
...
"Aku bisa jelaskan, kemarin aku panik dan aku tahu aku salah. Tidak seharusnya ku berikan alamatmu pada Kak Gilang. Lusi, maafkan aku."
'Ah, suara itu lagi. Sial!'
Lusi terperangah, ia gelagap. Di hadapnya sudah berdiri dengan epik, Dianara. Lelaki yang semenjak 3 hari belakangan membuatnya gila.
Matanya picing, bibirnya besungut, emosinya menyala nyala. Lusi sudah menyiapkan sumpah serapah dan bentakan, sudah pasang kuda - kuda.
"Ka.."
Pergelangan tangan Dian diraih, namun dilerai. Mata Dian kosong. Dian hanya melewati bayangan Lusi.
Lusi tak percaya, belum saja Lusi menyatakan perasaan kecewa kepada Dian, Dian bahkan tak sudi nampak wajah Lusi meski berpapasan.
Osaka dan bintang rajut, apa hal lagi yang kau coba untuk sakiti hatiku?
Dianara yang hadir untuk hentikan tangisku, kini jadi penyebab tangisku tumbuh.
Oh Osaka dan bintang rajut, tiadakah duri yang lebih lunak dari ini? Luka dari Leo saja belum tuntas kutumbuk halus. Haruskah aku tambahi dengan tangis yang baru?
Lusi diam tak bergerak, di depan kelasnya. Gelang hitam priceless milik Dian yang dipakai Lusi. Lusi menggenggamnya perlahan.
Lusi terpaku dan emosinya hilang. Lusi hilang perasaan. Lelah hati.
Ia melepas gelang dari Dian, dan melemparkannya dari lantai atas ruang kelasnya.
'Dian, sudah kelewatan.'
Gumamnya, lalu Lusi diam. Dan kembali terluka.
"Aku bisa jelaskan, kemarin aku panik dan aku tahu aku salah. Tidak seharusnya ku berikan alamatmu pada Kak Gilang. Lusi, maafkan aku."
'tak akan pernah kata itu terucap dari mulutmu, Dianara. Kau dingin seperti bongkah es. Kau keras seperti emeralda.'
'Kau sudah kelewat batas,
Dianara.'
KAMU SEDANG MEMBACA
Pria Dingin dan Wanita Pemalu
RomanceJangan menghindariku, pun jangan berulah denganku Jangan menjauhiku, pun jangan mendekat padaku