Gundah

132 4 0
                                    

Sebenarnya aku tak tega, tapi aku merasa tidak layak untuknya. Dan aku paham bahwa ada yang lebih bisa membuat Lusi nyaman, itulah mengapa aku, Dian, menyerahkan Lusi pada Gilang.

"Emang kamu pikir dia itu benda?"

"Ya bukan. Apa ya yang sebaiknya ku semat untuk penjelasan ini?"

"Pusing! Saranku, bicaralah dengan Lusi, dia akan mengerti."

"Lusi itu api yang berkobar Kin, bisa hangus aku nanti dilahap amarahnya."

"Kalau sudah tahu takut, kenapa sampai fatal yan?"

Kina berdeham sebentar, kemudian menatap langit - langit perpustakaan kota.

"Memang ada?"

"Apa Kin?"

"Ya kamu, jelantah tapi takut api. Kalau mau terhunus, perang sekalian yan. Jangan berdiri di tengah tusukan. Pilih, mau lekas mati, atau tidak tergores sama sekali."

Aku termangu, pilu sekali. Mendengar kalimat Kina yang keluar dari mulutnya, padahal baru kemarin aku ada janji dengan Lusi, kini harus saling jauh dan menyakiti.

"Woy! Pikirin!"

"Iya iya, besok kalau Lusi masuk, aku lewat kelas kalian, aku ajak bicara dia."

Kina manggut - manggut senang. Kemudian kami kembali tenggelam dalam tugas masing - masing.

...

Hari ini sengaja ku awalkan langkahku menuju sekolah. Kina bilang di telpon tadi pagi, Lusi hari ini akan berangkat dan meminjam catatan darinya.

Kupanasi dahulu diriku, setelah bersiap dan cukup matang, aku segera melalang buana ke kelas.

Semalam hujan, pasti dingin. Aku mulai merasa makin hangat ketika membayangkan senyum Lusi merona nantinya saat nampak aku.

Atau pun jika Lusi marah dan melahapku dalam kobarnya, aku tidak masalah hangus terbakar, karena aku memang sedang dingin, dan kedinginan.

Aku naik ke lantai atas, setelah sempat ku letakkan tas ransel abu abu milikku.

Dengan dada yang degupnya loncat - loncat, kudapati rambut pendek Lusi membelakangiku, dan saat sapaku mulai ku hembus,

Sial!

Gilang mendahuluiku. Aku gagal! Aku kalah!

Kina benar, harusnya memang aku terbakar sekalian hingga jadi abu, atau tidak menghangatkan diri dalam api sama sekali.

Lusi nampak ringan dan renyah tawa, kudengar samar, Gilang menawarkan tumpangan untuk pulang.

Maka kubiarkan saja,

Aku akan membeku saja dan tidak menghangatkan diri

Sampai jadi kaku dan dingin

Dan tak ada yang bisa hadiahi ku lagi

..

Lusi menoleh ke arahku, aku tahu dia tersentak, mungkin kaget.

Aku tahu dia sudah ingin bicara padaku

Aku tahu dia marah dan menunggu permohonan maafku

Aku tahu dia terus memikirkan aku

Lusi, siapa yang bisa paham dan tahu tentang mu, sebaik ini,

Selain aku?

Gumamku, seraya lewat begitu saja di hadapan Lusi

Aku tahu kau akan sebut aku keterlaluan

Tapi aku Gundah, Lusi.

Gundah menyelimutiku.

Pria Dingin dan Wanita PemaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang