"Ah, kenapa aku harus lapar pada saat - saat begini?"
Gilang menarik mantel abu abu miliknya, dan berdesis kesal pada diri sendiri.
'Di luar hujan. Sial!' ia bergumam.
Gilang mengambil payung hitam dari pojok ruangan penginapan yang ia tinggali, dan beranjak keluar pergi.
Ia menelusuri jalanan kota dan mencari toko atau mungkin cafe dengan hidangan berat.
Bukannya menemui makan, ia justru mendapati seorang perempuan yang berjalan perlahan meski dalam hujan.
'Seperti tidak asing.'
Ia perlahan mendekat, ia yakin bahwa itu adalah salah seorang wanita yang sempat ia kenal.
Mungkin mantannya, atau para wanita yang sempat suka padanya.
Namun gadis itu lain, ia mengingatkan Gilang pada sosok Lusi.
Rambut pendek dan cara berjalannya, mirip dengan Lusi.
Ia beranjak makin dekat, hingga deru nafas Lusi yang terisak, terdengar hingga ubun - ubun milik Gilang.
'Ia benar Lusi, dan ia menangis?'
"Kamu siapa?"
"Aku Gilang."
"Aku benar - benar tidak tahu kau siapa, maaf."
Lusi beranjak pergi namun entah mengapa, Gilang menarik tangannya, ia melihat nampak bekas pergelangan Lusi memerah.
'Apa yang terjadi dengan Lusi?'
"Aku lapar. Mau menemani makan?"
Lusi tidak menjawab, namun tidak berontak dan membiarkan Gilang menggandeng tangannya sepanjang jalan.
Hingga mereka tiba di sebuah cafetaria.
Tapi bukan milik Dian tentunya.
"Selamat datang, biar kuambil mantel dan payung anda."
Terlihat dua gadis manis memakai seragam cafe menyambut kedatangan mereka.
Gilang mengantar Lusi ke salah satu bangku yang paling dekat dengan perapian, dan menghilang kemudian.
'Dimana dia?' Lusi bergumam.
Lusi berpikir keras siapa Gilang dan mencoba mengingat.
Mata cokelatnya terbelalak kemudian ketika tahu bahwa dia adalah kakak kelas yang sempat membuatnya bertengkar dengan Dian.
Saat ia akan beranjak, Gilang mendatanginya dengan dua cokelat hangat dan pakaian blouse putih.
Ia memberikan handuk kepada Lusi.
"Ini, keringkan rambutmu. Pakaianmu akan kering nanti, maaf karena aku tak punya persediaan pakaian wanita disini."
Lusi cenayang. Kepalanya pening, ia tak merespon apa yang Gilang katakan.
Ia hanya menerima handuk dan meletakkannya di meja, persis di sebelah cokelat panasnya dan Gilang.
Lusi terpaku pada gaya belanda yang dimiliki cafe ini. Tatanannya sangat jaman dulu, namun antik.
Banyak perlengkapan yang mencerminkan jaman peralihan masa belanda, dan itu sedikit membuatnya nyaman.
Perlahan ia tersenyum, dan mengangkat handuk, mengulum rambut pendek itu di dalamnya.
Lusi mendekatakan bibir oranye itu pada segelas cokelat panas, dan sangat terasa hangat.
Mungkin hangat yang ia rasa bukan hanya hangat perapian, handuk, dan secangkir cokelat hangat.
Mungkin hangat itu berimbas karena sikap yang Gilang tunjukkan padanya.
Ya, dia Gilang yang diacuhkan dan ditinggalkan oleh Lusi di koridor lantai tiga gedung sekolah.
Dia adalah Gilang yang kini menghangatkan Lusi beserta hatinya.
Dia Gilang, yang dapat merekahkan tawa kecil Lusi, perlahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pria Dingin dan Wanita Pemalu
RomansaJangan menghindariku, pun jangan berulah denganku Jangan menjauhiku, pun jangan mendekat padaku