Lusi tertawa ketika Gilang, lelaki yang lebih tua dua tahun darinya menggemakan nada suara cekikik dengan bass dari kerongkongnya.
Detik jarum dinding terasa merdu tiap poros, bergelantung dan memutar waktu.
Hingga Lusi rasanya tak ingin cepat berlalu.
'tik. tik. tik. tik.'
Entah mengapa Lusi merasa suka saja melihat Gilang tertawa dan bahagia.
"Ini, makanlah wafle buatanku."
Lusi melirik ke arah wafle, suatu makanan yang hangat dan masih berkebul asap di atasnya. Hiasannya cream vanilla, stroberi, dan lelehan brown caramel.
Ia tak suka.
"Terimakasih."
Tapi ia menutupinya.
Gilang terus menatap Lusi tanpa celah. Hingga Lusi merasa tidak enak menganggurkan wafle buatan Gilang itu.
"Makanlah. Aku bisa buatkan lagi jika kau mau."
Gilang tersenyum, kelopaknya yang Lusi kira menyimpan kebusukan yang sama dengan lelaki kebanyakan, perlahan bersinar dan seperti menaruh harap.
Lusi tak tega.
'kress'
Lusi menggigit ujung dari wafle itu. Manis sekali. Tetapi sayang dia tak suka.
Ia merah padam kemudian. Hari ini terlalu banyak makanan manis yang ditelannya sedari pagi.
Hingga ia sadar, bahwa ia melupakan sebuah janji.
Dengan Dian, sahabatnya.
Wafle itu diletakkan dengan bekas gigitan Lusi di ujung. Lipstik orange nya tertinggal membekas di tissue yang ia kenakan, sebelum ia memutuskan beranjak pergi.
"Kau suka? Apa kau tidak suka?"
Lusi bimbang, bagaimana cara mengatakan pada Gilang?
"Ini wafle pertamaku."
'Bukan itu, aku harus segera pergi. Kumohon lepaskan aku.'
Ia mulai menggigit jari dan mengenakan tasnya.
"Kak Gilang, aku harus pergi."
Hening, Gilang menatapnya ragu.
"Maaf, tapi aku ada janji."
Lusi kemudian meninggalkan Gilang yang termangu mendamba kehadiran Lusi lebih lama.
Gilang beranjak, mengikuti Lusi dari belakang, hingga tiba di luar cafetaria.
Lusi berbalik, ia merasa ada yang janggal. Dan mendapati tatapnya bertemu dengan kelopak Gilang yang berkaca - kaca.
"Biar kuantar."
"Tidak. Sebaiknya tidak."
"Kenapa?"
Lusi tak tahu harus memberi jawab apa, dan ia juga hilang akal, mengapa sampai hati ia berkata hal itu, ia juga tak paham.
"Karena itu wafle pertamaku. Dan akan jadi yang terakhir."
Sneakers putihnya melayang pergi dengan derap langkah ritme cepat. Meninggkan Gilang tanpa maaf dan terimakasih.
Menyisakan Gilang yang lagi lagi termangu menatap nanar kepergian Lusi, dengan kalimat menohok.
Dibersamai cahaya mentari yang siluetnya menutup tubuh Lusi yang makin berlari, menjauh, dan pergi.
"Itu wafle pertamaku juga."
Gilang berdeham, dan masuk kembali ke dalam cafetaria.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pria Dingin dan Wanita Pemalu
RomanceJangan menghindariku, pun jangan berulah denganku Jangan menjauhiku, pun jangan mendekat padaku