Prolog

439 50 48
                                    

Suara langkah kaki memasuki sebuah kamar seorang gadis. Dia bahkan tidak sadar seorang lelaki masuk ke kamarnya. Lelaki itu diam beberapa lama, menatap tajam gadis yang sedang duduk bersandar pada kepala ranjang. Sesekali menarik napas dalam. Setelah cukup lama, akhirnya dia memilih keluar kamar.

Dia turun menuju ruang keluarga. Dua keluarga sudah menunggunya. Sesungguhnya bukan ini yang diharapkannya. Dia pulang ke Indonesia untuk sebuah kabar gembira. Tapi yang terjadi malah sebaliknya.

"Gimana? Kamu sudah liat kan, Lang? Tante mohon---" sedu seorang perempuan paruh baya. Tante Rumi yang dia tahu ibu dari gadis itu.
Tante Rumi berdiri disampingnya seraya memegang lenggannya. Dengan air mata memenuhi pipinya menatap Gilang penuh permohonan.

"Tante mohon, Lang. Selamatkan anak tante. Kalau kamu ingin tante berlutut, tante akan berlutut tapi tolong selamatkan anak tante," rintihnya tiba-tiba bersimpuh.

Lelaki yang sedari tadi diam terkejut. Ya, Gilang Pradipta tidak menyangka Tante Rumi akan bersimpuh seperti ini. Dibimbingnya perempuan paruh baya itu berdiri.
"Jangan begini tante."

Seseorang lelaki paruh baya menghampiri mereka dan merangkul Tante Rumi. Om Prabu, yang dia tau suami tante Rumi dan ayah dari gadis itu. "Ma, jangan begini. Kita duduk dulu," ujarnya lembut.

Tante Rumi masih tersedu saat Om Prabu membimbingnya duduk. Semuanya terdiam. Tidak ada yang bersuara hanya sedu tangisan yang terdengar. Gilang menarik napas dalam. Dadanya sesak, seperti ada beban berat yang menimpanya. Dilihatnya sang mama yang juga tak kalah sedu menangis di pelukan papanya.
"Aku tidak bisa, Ma, Pa, Om, Tante."

Tante Rumi tersedu hebat. Dia menatap Gilang dengan begitu terluka. Tiba-tiba tubuhnya lunglai.
"Ma! Ma!" panggil Om Prabu sambil menepuk nepuk lembut pipi istrinya.

Mama dan papanya terkejut lalu menghampiri Tante Rumi yang pingsan.
"Rumi! Rumi!" panggil mamanya tersedu.
Gilang bergerak dari keterdiamannya.
"Saya telfon dokter, Om"

Om Prabu keluar dari kamarnya dengan wajah kusut setelah dokter memeriksa isterinya. Dia menghampiri Gilang yang duduk di ruang keluarga.
"Saya ingin bicara empat mata dengan kamu."

"Baik Om. Selagi mama dan papa masih menjaga tante."

Mereka duduk berhadapan dalam kesunyian. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.
Om Prabu masih diam. Cukup lama mereka berdiam diri, hingga akhirnya om Prabu berdehem.
"Isteri saya terkena serangan jantung ringan. Kondisi fisiknya akhir-akhir ini sedang drop. Kamu pasti tau alasannya."
Gilang mengangguk paham.
Om Prabu mengela napas lelah. Tampak gurat wajah penuh kesedihan.
"Tara sangat mencintai Galih. Dunianya hancur saat Galih pergi. Kamu bisa lihat sendiri keadaannya sekarang. Om dan tante sudah mengupayakan penyembuhan psikisnya, tapi hasilnya tidak terlalu baik. Sudah sebulan, tapi keadaannya masih sama. Kami ... putus asa."

Lelaki paruh baya di depan Gilang bercerita dengan tatapan sendu. Tampak jelas keputus-asaan diwajahnya. Gilang memilih diam. Dia paham, pasti menyakitkan bagi seorang ayah menyaksikan keadaan putri tunggalnya seperti mayat hidup.
"Kali ini biarkan seorang ayah ini memohon padamu. Tolong selamatkan putri, Om. Setidaknya hingga dia mampu menerima kenyataan. Tolong Lang, pikirkan lagi keputusanmu. Om dan Tante berharap padamu. Tolong bantu kami."

Gilang tak mampu menjawab apa-apa. Pikirannya serasa penuh. Om Prabu bangkit, menepuk pundaknya pelan. Dia melangkah meninggalkan Gilang yang masih terpaku.

PrimroseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang