21

1.4K 38 0
                                    

Rea keluar dari kamar dan berjalan menuju dapur untuk mengambil air minum. Sudah menjadi kebiasaannya untuk minum segelas air putih sebelum tidur.

Saat Rea sudah menyelesaikan urusannya, ia memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Namun entah ada urusan apa lagi Tari dengannya. Tari menghadang jalan Rea untuk menaiki tangga

"gue mau ngomong sama lo" ucap Tari

Rea mengangkat sebelah alisnya "terus? gue harus dengerin?"

"tcih, gausah merasa diatas angin cuman karena lo udah jadi istri Ray. Kalian cuman dijodohin" ucap Tari dengan tatapan menghina

"oh" saut Rea tanpa minat lalu menggeser Tari agar tidak menghalangi jalannya

"gue akan buat perhitungan sama lo" ucap Tari mengepalkan tangannya sambil menatap punggung Rea

"denger ya!" Rea membalikan tubuhnya menghadap Tari dengan tatapan datarnya

"selagi lo ada di rumah gue, gue Ratu nya. Dan Ratu ga akan pernah kalah sama selir ecek-ecek kaya lo" ucap Rea atas tangga menatap remeh pada Tari di lantai bawah lalu melanjutkan langkahnya menuju kamarnya dengan Ray

Tari tidur di kamar yang sebelumnya kosong, Ray dengan mendadak membeli tempat tidur agar dapat di gunakan oleh Tari. Rea rasanya jengah melihat Tari yang berkeliaran di rumahnya, kapankah ini akan berakhir.

Rea berbaring pada sisi kasur bagiannya. Di tengahnya sudah terdapat guling yang selalu menjadi pembatas antara Ray dan dirinya.

"Ray.." panggil Rea namun tidak ada jawaban dari sang pemilik nama

"tck, gausah pura-pura tidur deh" ucap Rea kesal

"hmm" gumam Ray pelan

"ga jadi" balas Rea lalu memiringkan badannya memunggungi Ray. Tidak lupa ia menarik selimut ke arahnya.

"maksudnya gimanasih" Ray mendudukan badannya menghadap ke arah Rea, menyilangkan kakinya dan melipat tangannya di dada. Ray sedikit kesal karena Rea menarik selimut ke arahnya. Ditambah lagi rasa malu yang belum sepenuhnya hilang karena wajahnya yang memerah di luar kendalinya.

Rea mendudukan dirinya lalu menghadap Ray, mengikuti posisinya. Tidak ada rasa bersalah yang terpancar di wajahnya setelah mengganggu ketenangan Ray.

"kapan sih mantan kamu pergi? kesel banget ngeliat mukanya" ucap Rea

Ray memijat pangkal hidungnya "jadi karena itu kamu kesal sekarang" tanya Ray

"iya" jawab Rea singkat

"saya sedang berusaha mencari tau lebih lanjut, jadi tolong sabar" jelas Ray

Rea menggaruk telinganya "bisa ga sih ngomongnya gausah formal gitu, sakit kuping dengernya"

"kalo bisa sih pake gue lo aja, biar frien- oke ga jadi." Rea menghetikan kalimatnya sebelum Ray kembali menceramahinya soal sopan santun

"oke.. aku?" ucap Ray sedikit aneh. Walaupun sering berbicara formal, Ray tetap berbicara santai selayaknya Seno dan Chandra padanya. Namun ia tidak pernah berbicara halus selain pada kedua orang tuanya dan juga pada Tari dulu. Wajar bila ia sedikit kagok ketika harus berbicara halus pada Rea.

Melihat Rea yang sedang mencoba menahan tawanya membuat Ray lagi-lagi ingin mengubur dirinya di rawa-rawa. Image galak dan mengintimidasi sudah sangat melekat padanya, wajar bila Rea terhibur ketika mengganggunya.

"sepertinya berbicara formal memang lebih baik" ucap Ray final

"dih apaan!! kok gitu" Rea tidak terima, kenapa harus ia sendiri yang dipaksa berbicara halus hanya karena ia perempuan?

Phase //REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang