3. Remember You

51 3 0
                                        


Afkar POV

Gue memandang wajahnya dengan seksama. Bukan kerana tertarik dengan cerita yang ia bawa, melainkan karena...

"Bisa kau tebak kelanjutannya?" Tanyanya kemudian.

Hah! Gue? Gue ga tau. Gue gak denger apa yang dia katakan, lebih tepatnya gue ga memperhatikan ceritanya.

Gue mengangkat kedua bahu tak tau sebagai respon, lantas Nadya kembali melanjutkan ceritanya.

Gue kembali memperhatikannya lekat.

Wajahnya, oh Tuhaann...

'Bagaimana bisa bibir mungilnya bergerak lincah seperti itu.' Batin gue.

Sepersekian detik gue mengaguminya. Ralat! sejak dia memulai cerita gue sudah mengaguminya.

"Hey!"

Gue tersentak sekali lagi saat dia menyadarkan gue dari lamunan, lantas menggeleng. Gue ga tau apa yang gue sangkal hingga membuat kepala gue menggeleng. Yang pasti itu respon gue sebagai jawaban atas pertanyaannya yang entah apa.

Terdengar helaan napas halus dari mulutnya. Nampaknya dia sadar pikiran gue sedang tidak pada tempatnya.

"Robert Burns pernah menulis syair, isinya seperti ini..." Oh, syair-nya Robert Burns. Gue ga tau dia siapa hehe...

Tak mau membuatnya kecewa, gue kembali menaruh perhatian padany~ eh! maksud gue pada ceritanya.

"...Cintaku berwarna merah, semerah bunga mawar yang baru mekar di bulan Juni... " Jelasnya panjang kali lebar kali tinggi, dan itulah rumus volume kotak jangkrik di kamar gue, hahaha... #Retceh banget yak... Bodo!

"Kau suka bunga mawar?"

Gue tersenyum samar. Bisa-bisanya dia nanya itu sama perjaka sehat bin seger kayak gue. Dia ngasi kode atau apa? Terus kalau gue jawab suka, apa dia bakal ngasi bunga mawar gitu ke gue. Ya kali, ngarep! But Wait! Tunggu tunggu... Nadya ngasi bunga ke gue? Boleh juga tu ide, kapan lagi dosen ngasi bunga ke mahasiswanya hahaha...

Gue senyam-senyum, berniat melancarkan aksi.

Dia mengernyit heran "Ada apa?"

"Jadi gimana?" Gue balik nanya.

"Jadi apanya?" Dia masih bingung. Lihat saja ekspresinya kayak kambing congek hahaha...

"Jadi kamu suka ga sama bunga mawar?" Dalam hati gue terkekeh geli membayangkan akan seperti apa responnya.

"Ohh!...suka kok. Aku suka semua bunga. Kecuali bunga bangke" Masih sempat-sempatnya dia melemparkan guyonan retceh seperti itu.

"Yaudah kalo gitu aku mau bunganya"

It show times xixixixi...

"Nih!" Dia menjulurkan tangannya.

Gue mengambil bunga itu lalu menatap sendu kearahnya "Makasih. Tapi maaf kau bukan tipeku"

Hahaha...

"Ih! siapa juga yang lagi nyatain perasaan!" Yaampun lihatlah wajahnya sekarang, hahaha...

Ini yang gue suka saat melihatnya cemberut seperti itu.

Haruskah aku mengerjainya lagi? hahahaha...

Lihatlah tampangnya saat ini, tampang yang tak mampu membuat tawa gue berhenti hanya karena tatapan intimidasinya. 

Author POV

Seorang wanita muda berkulit putih bersih, bermata sipit, dan berambut lurus sedang sibuk berkutat di kamar apartment-nya. Kamarnya penuh dengan wall arts hasil karyanya. Mulai dari lukisan pop art bergambar musisi Gackt, lukisan abstrak beraneka warna hingga lukisan Acrylic yang tergantung di segala penjuru kamarnya.

Tangannya sedang bergerak lincah mengarsir benda putih bersih yang mulai membentuk pola. Wajahnya tampak fokus menekuri setiap detail dari pola yang ia gambar. Semakin diperhatikan pola tersebut semakin membentuk wajah seorang pria. Bibirnya mulai terangkat saat hasil karyanya telah tergambar sempurna.

"Afkar..." gumamnya.

Rasanya hati Dyandra begitu rindu pada pria itu. Sahabat sekaligus sosok yang merangkap sebagai kakak dalam hidupnya, yang selalu menemani dan melindunginya saat duduk di bangku SMA.

Namun kerinduan yang ia rasakan terbungkus rasa bersalah dan penyesalan didalamnya, ketika ia menyadari ia harus pergi tanpa meninggalkan seuntai kata atau bahkan sepucuk surat kepadanya. Raganya harus pergi menyisakan memory indah yang ia ciptakan bersama.

Dyandra tau dia salah. Sejak kepergiannya 3 tahun lalu ke luar negeri tak sekalipun ia menghubungi Afkar atau sekedar menanyakan kabar dari sahabatnya itu. Bukannya tanpa alasan ia pergi tanpa ucapan kata perpisahan. Ia tau apabila hal itu ia lakukan, dirinya hanya akan merasa bimbang dan semakin ragu untuk pergi meninggalkannya.

Tak dipungkiri ia merasa dilema saat itu, dilema yang begitu dalam hingga membuatnya kesulitan menghabiskan sisa waktunya di sekolah tanpa diketahui oleh Afkar. Ia bimbang saat ia harus memilih meninggalkan sahabat satu-satunya yang sangat ia sayangi dan menyayangi dirinya, atau melanjutkan sekolah ke luar negeri menggapai mimpinya dan tinggal bersama sang Ayah yang entah masih pantaskah ia disebut sebagai Ayah.

Dyandra merasa hanya Afkarlah yang mampu membuatnya tersenyum dan melupakan kepedihan yang ia alami dalam hidupnya, terlebih setelah Ibunya pergi meninggalkannya bersama sejuta kenangan yang telah menjadi bagian dalam hidupnya.

Ingin rasanya ia kembli ke masa-masa itu. Dimana ia menghabiskan waktu istirahat bersama Afkar, memanjat tembok pembatas sekolah, bolos saat jam pelajaran, hingga mengunjungi tempat-tempat menyeramkan hanya untuk bersua foto berdua. Ya hanya berdua dan selalu begitu, karena hanya Afkar-lah orang yang paling mengerti keadannya, hanya dialah tempat ia bersandar saat teman-teman lain mencemooh dan mencibir perilakunya.

Apa kabar dia saat ini, sungguh ia ingin bejumpa lagi dengannya. Tapi apakah setelah ia pergi begitu saja Afkar masih mau bertemu dengannya, terlebih menunggu dirinya? Rasanya tidak mungkin. Mungkin saat ini dia telah menemukan kebahagiaan lain bersama sahabat-sahabat barunya, atau bahkan sudah melupakan dirinya.

Haruskah ia mengunjunginya untuk memastikan itu semua? Tapi bagaimana dengan Ayah?




TBC...


Riski_A, 02 Januari 2019




I'm Into YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang