6. Shocked

27 4 0
                                    


Nadya POV

Setelah ku putuskan saluran telepon, buru-buru ku letakkan ponsel sambil menyapa pelanggan pertamaku. "Selamat datang di Farah Florist ada yang bisa kami ban~" Ucapanku terhenti tatkala kulihat wajah si empunya.

"Arkan!"

Arkan–mantan kekasihku sewaktu aku masih S1 dulu. Aku break dengannya saat aku memutuskan untuk melanjutkan S2 di London. Katakanlah kami masih sama-sama childish dan egois kala itu, sibuk dengan urusan masing-masing dan belum ada komitmen ke arah yang serius. Dia juga seorang workaholic. Dia tidak segan-segan membatalkan janji yang kami buat seminggu sebelumnya demi memenuhi permintaan rekan kerjanya.

Apalagi jika aku harus menjalani LDR dengannya. aku tak sanggup. Bagaimana hubungan kami nantinya, jika meluangkan waktu untuk berkomunikasi saja jarang meski hanya sekedar bertukar kabar. Padahal komunikasi adalah salah satu pondasi penting dalam menjalin suatu hubungan. Karena alasan itulah, akhirnya kami memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami.

Sudut bibirnya terangkat membentuk lengkungan.

Aku melengos. Enggan untuk menatapnya lebih lama.

"Mau pesen apa?" tanyaku lagi tanpa memberi kesan ramah padanya.

Dia manggut-manggut "Baru tau seperti itu cara melayani pembeli" sindirnya.

"Saya mau pesen bouqet." Aku mendengar dengan seksama tanpa memperhatikan kearahnya.

Aku hendak memanggil pekerjaku untuk memintanya melayaninya "Tapi saya mau kamu yang merangkai" lanjutnya lagi.

Aku menaikkan sebelah alisku. Apa katanya? Dia mau aku yang ngerangkai?

Hhh, Kenapa juga aku harus menuruti titahnya? Aku tidak mau. Untuk apa aku menggaji pekerjaku, jika akhirnya aku sendiri yang harus turun tangan.

"Bouqet seperti apa?" Wait what?!!  Jawabku meluncur dengan begitu indahnya.

Alih-alih memanggil pegawai aku malah bertanya hal bodoh padanya.

'Sadar Nadya sadaaarrr!' Aku menggelengkan kepalaku. Aku merutuki diri sendiri menyesali pertanyaan yang baru saja ku lontarkan.

"terserah, yang pasti bouqet itu buat mama" Jawabnya datar pandangannya menyapu ke seluruh ruangan. 

"Silahkan tunggu di sebelah sana" tunjukku mengedikkan dagu kearah bangku di sudut ruangan.

"Boleh saya nunggu sambil kita bicara?" Tanyanya sambil menatapku penuh arti.

"Maaf tidak bisa"

"Nad! Sebentar aja, aku mau ngomong sama kamu" pintanya dengan tatapan penuh harap. Ucapannya juga tak seformal barusan.

Aku beralih dari tempatku. Mengambil seperangkat alat pemotong sekaligus berusaha menghindarinya.

"Nad please!" dia terus mengekori langkahku.

Aku terdiam dengan mata terpejam, menghela napas panjang mencoba mengontrol emosi yang mulai mencuat.

"Anda paham perkataan saya? Silahkan, anda bisa menunggu di sebelah sana"

Dia masih belum menyerah "Nad, tapi aku mau.."

"Arkan Syamil Musthafa! Anda mendengar perkataan saya?" Emosiku meledak, hingga menarik perhatian para pekerja yang sedari tadi mencuri pandang ke arah kami.

Sadar akan hal itu, akhirnya aku menyuruh mereka untuk masuk dan melanjutkan pekerjaan di dalam. Aku tidak mau urusan pribadiku menjadi tontonan gratis di depan mereka.

I'm Into YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang