Jimin mengerjapkan matanya, menyesuaikan cahaya yang masuk kedalam kornea mata. Setelahnya, ia mengerjab bingung kala penglihatannya merekam pemandangan yang cukup asing baginya.
Jimin meringis, kedua tangannya diikat disebuah tiang penyangga, begitupun dengan kedua kakinya. Jimin berontak dan berusaha melepaskan tali yang mengait kedua tangan dan kakinya, tidak peduli rasa sakit yang ditimbulkan akibat tangannya menggesek permukaan tali yang cukup kasar.
Ingin menangis tetapi Jimin sadar bukan saatnya untuk menjadi lelaki lemah, sekuat tenaga ia melepaskan kaitan tali yang mengingkat kedua tangan kecilnya.
Hingga suara pintu yang terbuka mengalihkan atensinya untuk menoleh kearah sumber suara, matanya membola seiring tubuhnya yang bergetar, perasaannya kalut dan dicampur dengan rasa takut.
"Jangan membuang tenaga bodoh, percuma saja kau berusaha melepaskannya." Suara berat dan raspy tersebut membuat ketakutan Jimin semakin menjadi, kilatan tajam dari teman sebangkunya itu membuat nyali yang ia kumpulkan selama ini ciut seketika.
"L--lepaskan aku!" Jimin berteriak kencang, tubuhnya kembali meronta berusaha melepaskan tali-tali yang membuat pergerakannya sekarang terbatas.
Jimin menatap Taehyung tajam, tentu saja hanya dibalas kekehan menakutkan dari kedua bibir tipisnya.
Taehyung menyeringai, ia berjalan menghampiri Jimin yang berusaha beringsut mundur menghindarinya. Sebelah tangannya digerakkan memegang dagu Park Jimin dengan lembut.
"Kemana keberanianmu selama ini teman? Hey, aku hanya ingin bermain bersamamu, bukankah selama ini kau ingin datang dan mengunjungi rumahku?" Taehyung terkekeh.
Sementara itu, air mata Jimin sudah tidak bisa dibendung lagi, lelaki bersurai hitam itupun berakhir berteriak tepat disaat lelaki berkulit tan dihadapannya mengeluar sebuah silet yang masih berkilau.
Mata jimin melebar kala Taehyung, teman sekelasnya itu memainkan silet itu disekitar wajah milik Jimin.
"A--apa yang akan kau lakukan? J--jangan mendekat!"
Taehyung tergelak, perutnya dipegang dengan tangan kiri.
"Hey, aku hanya ingin bermain sayang, jangan takut begitu, aku hanya penasaran kenapa Yoongi hyung begitu menyukaimu, apa karena wajah ini?"
Taehyung menggores pelipis Jimin dengan ujung siletnya, tidak peduli dengan teriakan memilukan dari mantan sahabatnya itu. Hatinya kini sudah dikuasai oleh amarah dan rasa takut kehilangan.
"Jangan berteriak! Suaramu membuat kepalaku sakit!" Taehyung meremat surai Jimin kasar, membuat lawan bicaranya kini mendongak kearahnya.
"K--kau iblis! Tidak pantas disandingkan dengan orang sebaik Yoongi hyung!" Jimin menyeringai lebar.
"Ya, kau benar. Tetapi, jika aku tidak bisa memiliki Yoongi hyung maka kaupun juga tidak bisa memilikinya!"
Jimin berteriak kesakitan, kepalanya pening disaat Taehyung menghantukkan kepalanya kearah tiang besi dibelakangnya.
Lelaki kelahiran desember tersebut tertawa hambar.
"Katakan selamat tinggal pada dunia Park Jimin."
***
Yoongi melajukan mobilnya kencang, dengan ponsel yang masih menyala yang ia letakkan dikursi sampingnya, emosi yang sudah berada dipuncak seolah menguasai dirinya saat ini.
Yang ada dipikirannya kali ini bagaimana menyelamatkan kekasihnya dengan tepat waktu, bayangan yang tidak-tidak kini menari-nari dikepalanya.
"Aku sudah didekat toko kue Hobihoe, sekarang apa?"