#4

413 48 0
                                    

Sejujurnya dusta lalu di khianati adalah paket terlengkap dalam sebuah luka di suatu hubungan. Seperti sekarang, entah aku harus menamai apa rasaku saat ini kepada mas Tyo. Sosok yang selama ini aku percayai penuh dan aku cintai menggunakan hatiku utuh, kini berubah menjadi sosok yang sangat ku benci.

Surakarta sore ini masih tenang, aku mencoba menelusuri hatiku sendiri. Hati yang kini bimbang terhadap masa depan cinta yang terajut antara aku dan mas Tyo. Semilir angin sangat sejuk menyapa, udara di kota ini masih aman menurutku. Lain jika udara di kota Jakarta, membahayakan kulit dan jiwa.

Bianne : Besok balik kan? Dapet kiriman kado nih dari pak Dewa.

Widiya : Iya besok siang gue udah nyampe jkt lagi, simpen aja kadonya Bii

Bianne : Okky dokky

Pak Dewanto, sosok baru yang masuk ke hidupku. Sosok yang sejujurnya mengalihkan fokusku terhadap Tyo, orang yang bisa memanjakan sisiku yang lain.

"Huufffttt... Kalau sampai akhirnya kamu tidak bisa memberi kejelasan akan hubungan ini. Mungkin lebih baik kita akhiri sampai disini." ujar Widiya sembari melepas tombol hold pada voice note aplikasi chattingnya.

Tiket pesawat sudah di tangan Widiya, penerbangan menuju Jakarta. Pesawat ini yang membawanya menuju kota yang berhasil membantunya mencicil semua impian besarnya. Menuju kota yang membuatnya menjadi sadar, hanya diri sendiri yang bisa membantu seorang Widiya.

Ponsel akhirnya dimatikan oleh Widiya, bukan dalam air plane mode yang dia aktifkan, langsung menonakftifkan ponsel hingga esok hari. Voice note yang tadi dia kirimkan kepada mas Tyo tidak berdampak apapun, rasanya sia-sia untuk menyadarkan Tyo siapa dia dihatinya.

***

Kota Jakarta dengan segala hiruk pikuknya, menyambut Widiya saat ia menginjakkan kakinya di bandar Soekarno Hatta. Mencari taksi untuk segera bergegas menuju kostnya. Ia lelah fisik maupun psikis, membutuhkan ketenangan yang sebenarnya saat sampai di Jakarta.

"Tebet ya pak." ujar Widiya kepada sang driver.

Selama perjalanan, yang dilakukan oleh Widiya hanya melamun. Hujan gerimis mengguyur Jakarta hari itu, sisi melankolisnya berkembang dengan baik. Suara lagu yang mengalun dari radio player terdengar begitu mendukung Widiya untuk memikirkan perihalnya kemarin.

Ia sudah sampai di halaman kostannya, disana ada Ifa yang sedang duduk bercengkrama dengan anak dari mbak Kost. Widiya berjalan gontai, membuka gerbang tanpa minat. Menghampiri Ifa yang sedang ikut membantu bocah kecil itu mewarnai.

"Assalamualaikum." sapa Widiya.

"Walaikumsalam, lah kok cepet Wid. Kirain lama disananya." ujar Ifa.

"Bosen disana, enakan di Jakarta. Eh iya, kalian lagi apa?" tanya Widiya.

"Nih, si Zahra minta di buatin gambar. Sekalian nunggu Firman dateng." jelas Ifa.

Widiya mengangguk paham, lalu pamit undur diri untuk beristirahat. Tubuh dan pikirannya butuh ditenangkan sejenak dari penatnya masalah.

"Wid, tadi si Tyo chat aku. Katanya nanti jam tiga sore telepon kamu." ujar Ifa.

"Oh... Okay... Terima kasih infonya." jawab Widiya seadanya.

Setelah masuk ke dalam kamar, Widiya langsung merebahkan tubuhnya. Menatap ponselnya yang sengaja ia non-aktifkan dari semalam. Menatap isi kamarnya, ada beberapa barang yang memang pemberian Tyo. Efek sakit hatinya berlaku hingga detik ini, ia bergegas mengambil kardus bekas dan menaruh semua barang yang dibelikan Tyo dalam kardus tersebut.

"Aku butuh waktu buat terima, ternyata kamu enggak cukup hidup dengan satu wanita dan setia. Mungkin jika nanti aku butuh uang akan aku jual semua barang ini, biar kamu tahu bagaimana rasanya dicampakkan." omel Widiya sembari merapihkan barang-barang pemberian Tyo tersebut.

Selesai merapihkan barang-barang tersebut, Widiya meletakkan kardus tersebut di salah satu sudut kamarnya yang memang sulit terpantau matanya. Meminimalisir rasa sakit hatinya terhadap sang terkasih.

GENERASI MECIN GRUP

Widiya : Jalan ayok ke Blok M

***

Namanya Dewanto, akrab bagiku dipanggil Dewa.

Tapi sungguh, dia adalah dewa penyelamat hati. Penyelamat kepingan yang hancur, penyembuh goresan bahkan luka hati.

Sayangnya hanya aku yang merasakan betapa dia berusaha menyembuhkan hatiku.

***

Dewanto, atau dia bilang Dewa. Laki-laki cute menurutku, caranya dia berbicara dan tertawa aku sangat suka. Kalau kata Bian mirip dengan kawan sekolah putih birunya yang bernama Aji, hanya saja wajahnya kurang tengil. Begitu menurutnya, tapi tidak denganku. Dewa benar-benar seperti jelmaan dewa cinta, yang membantuku perlahan memeluk keremukan hati atas penghianatan mas Tyo.

Malam ini sepulang kantor, Dewa mengajakku pergi makan nasi goreng. Katanya sih memang sedang ingin saja mencicipi nasi goreng yang ada di tempat itu. Tanpa ada yang mengetahui kalau kami pergi berdua layaknya orang berkencan, tapi ingat ini bukan kencan dan aku juga tidak menduakan mas Tyo. Ingat itu baik-baik.

"Wid, kemarin titipanku yang ke Bian sudah dikasih?"

"Sudah, makasih ya. Bagus lho hadiahnya, emang abis dari sana?"

"Iya, kemarin sewaktu libur panjang. Kebetulan saja main ke Jogja, keinget kamu sih pas liat baju itu." jawabnya.

See... Dia benar-benar lelaki sasaran empuk kaum hawa yang haus perhatian. Bayangkan, sejauh Jogja Jakarta saja dia ingat aku ketika melihat baju batik setelan yang dibuat model kebaya. Katanya aku kelihatannya cantik bila menggunakan baju itu.

"Asyik dong, aku juga pernah kesana. Pasti enggak mau pulang ya." ujarku.

"Iya, belum puas liburannya. Mungkin tahun depan kesana lagi, siapa tahu ada temannya." sahut Dewa.

"Aku juga mau kesana lagi, cuma belum dapat waktunya. Selalu bentrok sama kerjaan."

Nasi goreng pesanan kami tiba. Kami lebih memilih menikmatinya terlebih dahulu. Sepertinya nasi goreng ini lezat, atau hanya efek karena aku pergi dengan Dewa.

"Kamu kemarin mudik berapa hari Wid?"

"Sebentar tiga hari dua malam. Numpang tidur aja."

"Oh, kirain ada acara di lamar. Hahaha." candanya.

"Aamiin aja deh, biar bapak bahagia." jawabku disertai senyuman.

Dewa menyeruput es jeruknya kembali, tatapannya menerawang jauh. Seperti ada yang dipikirkan ketika aku dengan santai mengamini ucapannya tadi. Aneh, tapi entahlah. Aku enggan berspekukasi sendiri, bisa menyebabkan sakit hati akut jika aku mengikuti nafsuku.

"Pak, balik yuk. Emang bapak enggak kemaleman nanti nyampe rumahnya?" tanyaku.

"Ayo. Nanti kasian kamu kurang istirahat."

Kami akhirnya pulang, Dewa mengantarkan sampai di depan kostan. Lampu beberapa sudah padam, mungkin beberapa sudah ada yang tidur. Di teras ada Ifa dan Firman, sepertinya mereka baru saja pulang.

"Duluan ya pak, terima kasih nasi gorengnya." ujarku.

"Sama-sama bu Wid. Saya pulang ya, permisi." pamit pak Dewa.

Aku mengangguk dan dia mulai menjalankan motornya. Melangkah masuk dan langsung di tatap penuh pertanyaan dari Ifa. Aku hanya tersenyum kecil, lalu melanjutkan langkah menuju kamar. Hari ini lelah, jadi please jangan menambah lelah dengan 1001 macam pertanyaan seperti aku ini terdakwa.

Drrtt.. Drrrtt..

Aku mengecek ponsel dan ada 10 chat yang muncul disana, 8 diantaranya berasal dari grup kantor; teman bermain dan teman kampus. 2 chat terakhir berasa dari mas Tyo. Dia kenapa chat? Memangnya pacarnya tidak menggelayuti layaknya mamalia itu kalau bertemu pohon? Ups, sepertinya aku mengumpat.

Mas Tyo : Kamu sudah pulang? Widiya.. 💔

***

Jakarta, 01 Januari 2019
Bianne205

WIDIYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang