#12

448 72 22
                                    

Misteri munculnya pak Dewa yang tiba-tiba, tentu saja membuatku penasaran. Kalau kata Bian "dalam rangka kesambet apa coba, tau-tau nongol kek cacing ada disini". See, dia memang agak konyol dalam memberi perumpamaan. Tetapi, ada baiknya kita paksa pak Dewa untuk berbicara yang sesungguhnya.

"Pak Dewa nguntit saya ya?" tanyaku dengan tatapan sinis.

"Matanya biasa aja bu, udah sipit tambah segaris doang nanti." candanya.

Kan, menjengkelkan bukan berbicara dengan satu makhluk ini. Untung saja dia cute, coba kalau tidak. Sudah ku pites.

"Saya serius pak tanyanya. Kalau bapak tidak mau jawab ya sudah, saya mau lanjut jalan-jalan lagi." pamitku sembari beranjak dari kursi.

"Bagaimana saya temani bu? Sepertinya perempuan tadi masih memantau ibu." ujarnya.

Aku menoleh, menyipitkan mata meminta penjelasan. Pak Dewa hanya menunjuk menggunakan dagu, mengarah pada sebuah jendela-jendela besar cafe di seberang. Sial, perempuan itu masih saja yakin aku ini simpanan Tyo. Ya Tuhan, siapa pula yang sudi menjadi simpanannya jikalau ia telah berdusta dan memperdaya kami. Para mantan yang dikhianati.

"Sepertinya kalau ibu pergi sendiri, dia akan melanjutkan aksi jambak rambut ibu." jelas pak Dewa.

Aku yang tadinya bersiap pergi mengurungkan niat. Kembali duduk dan terdiam, sungguh kalau ada pintu ajaib doraemon maka akan aku lakukan kabur dari Yogyakarta ke tempat antah berantah.

"Hmm... Bu, dia kesini." ujar pak Dewa sembari berbisik. Menyadarkanku yang sedang melamun.

Aku melihatnya berjalan dengan tergesa, seperti memburu sesuatu yang sangat dia inginkan. Mungkinkah bagian untuk menghakimiku adalah sesuatu itu? Entahlah. Kita lihat apa yang ingin dilakukan perempuan yang katanya istri dari Tyo.

"Bisa bicara sebentar mbak?" tanya Febri.

Aku mengangguk dan mengikuti langkah Febri ke salah satu sudut outdoor cafe ini. Kami duduk tanpa memesan minuman ataupun makanan. Aku menanti kalimat yang akan meluncur bebas dari mulutnya. Sepertinya dia sudah menyiapkan amunisi sejak duduk di cafe seberang.

"Sudah berapa lama menjadi simpanannya Tyo?" tanya Febri langsung ke pokok pembahasan.

"Maaf sebelumnya mbak, saya bisa dibilang mantan pacarnya. Kemarin saya baru memutuskannya. Asal anda tahu, dia menduakan saya ketika kami LDR Jakarta Solo. Saya bahkan sempat bertemu dengan wanita yang menjadi kekasih keduanya." aku menghela napas, ini bagian menyakitkan dalam kisahku dan Tyo.

"Sepulang saya dari Solo, saya berniat mengakhiri hubungan ini. Tetapi ibu saya mengabari saya bahwa dia melamar saya. Jujur, saya dilema mbak. Saya sudah muak dengan penghianatannya. Makanya, kemarin saya mengakhiri semuanya. Saya tidak tahu kalau dia sudah menikah, wah brengsek sekali ya Tyo. Menikah dan masih menjalin kasih dengan saya. Dia membuat saya seakan saya ini perusaknya. Padahal dia yang merusak semuanya." ucapku sedikit kaku karena menahan emosi.

"Halah, tetap saja. Mbak yang membuat semuanya makin parah. Asal mbak tahu ya, saya tidak akan membiarkan perempuan seperti mbak merebut dia. Sekali lagi mbak berani menemui dia, maka Tyo yang akan menanggung akibat semuanya." ancam Febri.

Perempuan ini sebenarnya istrinya atau algojo sih? Suaminya malah dijadikan bahan ancaman agar aku tidak menemui Tyo kembali.

"Maaf saja ya mbak, yang disana itu pacar saya. Coba mbak perhatikan dengan saksama, masih bagus dia dibanding Tyo. So, tanpa mbak suruh pun saya akan menjauhi dia." jelasku.

"Ah iya, satu lagi. Katakan kepada dia, kalau balasan perbuatannya sudah datang. Tolong beritahu saya." ucapku lalu pergi meninggalkan Febri.

Huh... Lega hatiku, setidaknya perempuan itu tidak boleh salah paham. Bisa bahaya kalau Tyo yang dijadikan alat mengancamku.

WIDIYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang