#11

414 60 7
                                    

Tyo POV

Dia, wanita yang berulang kali ku sakiti.
Dia, wanita yang berulang kali menerima maafku.
Dia, wanita yang kini memilih pergi.
Dan dia, yang sekarang membuatku menyesal sepanjang waktu.

***
Jika aku bisa memperbaiki, maka aku akan memperbaiki dengan sebaik-baiknya. Tidak membiarkan penggoda kembali menggoyah niatku. Tidak merasa nyaman saat ada wanita lain memberikannya. Maka, izinkan aku menangisi semua hal paling bodoh yang selalu kuciptakan untuk wanita yang tadi siang akhirnya menangis.

Sesalku pada akhirnya tidak bisa membawanya kembali, karena aku yang membuat itu berakhir satu bulan setelah kepindahanku di kota pelajar ini. Tetapi aku bersikap munafik, menjalani hubungan ini dengan baik-baik saja. Menikmati cinta dari dua wanita, yang pada akhirnya sekarang tinggal satu wanita saja. Wanita yang disumpah atas nama Tuhan, memilih mengabdi kepadaku setelah Tuhan.

"Mas, aku kayaknya pulang malem. Kamu mau makan apa? Biar nanti sekalian aku beli." ujar wanita di seberang telpon.

"Enggak usah, kamu pulang aja. Kita makan nanti keluar." jawabku.

"Ok, sebentar ya. Habis adzan Isya aku pulang. Love you." tutup wanita tersebut.

Aku menghembuskan napas pelan, rasanya aku terlalu pengecut sekali masih bisa hidup sekarang. Mengingat Widiya menangis dan segala luapan amarahnya tadi, aku menyadari satu hal. Aku terlalu banyak menyakitinya. Bahkan akupun tak meminta maaf dengan tulus soal Kiki dahulu, apakah kali ini aku akan mendapat maafnya kembali jika ia tahu kenyataan yang sebenarnya? Entah, hanya dia dan Tuhan yang tahu.

"Lho mas, ini lho ada yang datang." tegur salah satu temanku.

"Selamat datang di Heaven Gallery. Ada yang bisa dibantu?" sambut Tyo.

Perempuan itu menoleh karena terlalu asyik mengamati beberapa benda yang terdapat di galeri tersebut. Tatapan matanya terkunci padaku, seperti tidak akan mengira bahwa kami akan bertemu disini. Dia tersenyum, senyum yang dulu membuatku damai saat di Solo.

"Saya mau lihat kain batik yang kemarin dipesan mas, ibu saya yang pesan atas nama Sekariningrum." jawabnya.

Aku mengangguk, mengarahkannya pada bagian bangunan ini. Ruangan yang isinya kain batik dan dibuat langsung oleh pengerajin sekitar galeri. Wanita itu berkeliling melihat-lihat kain batik yang lain. Sejenak dia memegang kain batik yang dominan oleh warna merah jambu. Dia menoleh, seakan ingin menanyakan sesuatu.

"Yang ini, sudah ada yang pesan juga mas?" tanyanya.

"Kalau yang itu persediaan terakhir mbak, kebetulan juga bukan pesanan." jawabku.

Dia mengangguk paham, lalu mengambil kain sepanjang 2 meter tersebut. Memintaku untuk mengemasnya bersama dengan kain pesanan ibunya.

"Yang berwarna pink nanti tolong dibungkus terpisah ya mas, mau saya jadikan souvenir." ujarnya.

Aku mengangguk paham. Dia memilih berjalan-jalan ke ruangan yang penuh akan gerabah. Baik guci dan yang lainnya, sesekali dia mengamati dengan serius barang-barang tersebut.

Irul ku perintahkan mengemas dua kain batik tersebut. Sedangkan aku memesankan jamu kunyit asam untuk dia. Akan ku sapa ia dengan baik, walaupun kami berpisah dengan cara buruk.

"Ki..." panggilku.

Dia menoleh, tersenyum seperti biasanya. Lalu melangkah menghampiriku, langkah yang tegap dan pasti. Seakan lupa aku pernah membuat kerusakan dalam hatinya.

"Apa kabar Yo?" tanyanya.

"Baik, kamu bagaimana kabarnya? Kuliah kamu sudah selesai?"

"Alhamdulillah baik, tinggal sidang aja nih." jawabnya.

WIDIYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang