-11-

1.8K 32 0
                                    

Perjalanan mereka pagi ini cukup lancar. Membutuhkan waktu sekitar 2,5 jam untuk sampai di Yogyakarta. Dewangga dan Ishana sama-sama mencintai pantai. Di kota tempat tinggal mereka, Semarang, tidak ada pantai dengan suasana alam yang benar-benar mereka sukai.

Bila Dewangga sedang pulang ke Semarang, mereka pasti akan meluangkan waktu untuk berlibur ke pantai. Sayangnya, Dewangga selalu tidak ingin berlama-lama di kota asalnya. Namun itu adalah cerita yang sudah berlalu. Sekarang, Dewangga bahkan tidak pernah berpikir untuk meninggalkan kota ini lagi. Ia tidak ingin berjauhan lagi dengan Riani. Konsekuensi pekerjaan Dewangga memang mengharuskannya untuk sering bepergian, tetapi saat ini ia masih ingin menghabiskan hari-harinya di Semarang, bersama Riani.

Dewangga melirik ke kursi sampingnya, Riani sedang tertidur. Tiba-tiba terdengar suara dari belakangnya. "Walah, waktu orangnya tidur aja berani ngeliatin terus. Tadi pas masih bangun, kamu pura-pura cuek," celetuk Ishana.

"Ssst, jangan kenceng-kenceng ngomongnya, Sha. Nanti dia bangun," Dewangga menghela nafas, "Sha, jangan godain dia lagi soal aku ya. Aku takut dia malah jadi nggak nyaman," pinta Dewangga.

"Kalau aku lihat reaksinya dia itu malu-malu kucing Ngga, bukan gara-gara nggak nyaman. Lagian aku juga ngegodainnya kan nggak parah."

"Mmm, iya sih. Eh kamu juga jangan buat aku kegeeran terus dong, Sha."

"Lah, siapa yang buat kamu kegeeran. Emang kamu kan orangnya sok kepedean," ujar Ishana sembari terkekeh.

Dewangga tertawa pelan. "Mungkin aku harus mulai menata perasaanku, Sha."

"Kenapa?" Ishana mengerutkan keningnya. Ia tidak mengerti maksud perkataan Dewangga.

"Aku,,aku nggak berani berharap lebih, Sha. Dalam mimpi pun aku nggak pernah berani membayangkan sesuatu akan terjadi antara aku dan Riani. Melihat Riani mau bertemu aku, bahkan berteman denganku lagi seperti sekarang ini udah bener-bener lebih dari cukup."

Ishana menjewer pelan telinga Dewangga. "Heh, kamu itu cowok, Ngga. Cowok itu nggak boleh lemah. Apalagi kalau cowok itu yang aku harapin bisa ngelindungi Riani seumur hidupnya. Riani itu cewek yang kuat. Aku nggak rela kalau kamu jadi cowok cemen kayak gitu," omel Ishana.

"Pelan-pelan Ngga. Kita harus ngebantu Riani. Dia aja mau berjuang kok, masak kamu patah semangat. Kita bertiga bersahabat, Ngga. Tapi bukan berarti kamu nggak mau memperjuangin perasaanmu lagi. Coba kamu bayangin, selamanya Riani nggak tahu perasaanmu, dan dia akhirnya jatuh cinta sama laki-laki lain, kamu bisa ngeliat dia nikah sama orang lain? Kecuali kalau kamu udah berjuang, dia tahu perasaanmu, dan ternyata dia nggak bisa membalas perasaanmu, itu beda lagi ceritanya."

"Tapi nanti kalau setelah dia tahu, dan dia malah milih ngehindarin aku, gimana?"

"Ya, selama kamu nggak jadi cowok aneh yang ngejar-ngejar cewek dengan posesif, kayaknya nggak tuh. Yang pasti sih, kamu bertemen sama dia juga harus tulus, bukan cuman buat ngedapetin hatinya aja. Yah coba dijalanin aja, Ngga. Kalau memang kalian jodoh, gimana pun rintangannya, akhirnya nanti kalian juga tetep jadi. Tapi jangan sampe kamu memupus harapan yang bahkan belum kamu perjuangin," ucap Ishana.

"Aku cuman pengen buat dia bahagia, Sha."

**

Riani mendengar dengan jelas setiap kata yang diucapkan oleh Dewangga dan Ishana. Ia tetap berpura-pura tidur karena ia malu bila ketahuan ia menguping obrolan mereka tentangnya. Hubungannya dengan Dewangga memang sangat rumit. Ia sendiri tidak akan berani berharap bila ia belum yakin bahwa ia sudah bisa menghilangkan semua trauma itu sepenuhnya.

**

Mobil mereka berhenti di sebuah rumah makan padang. Dewangga menoleh belakang, memandang Ishana dengan tatapan memohon, "Sha, tolong bangunin Riani dong."

Ishana memutar matanya melihat tempat makan mereka. "Ke Jogja kok berentinya di rumah makan padang."

            "Riani kan nggak suka gudeg, Sha."

            "Iya tau sih. Tapi kan masih ada yang lain selain gudeg."

            "Soalnya aku pengen makan rendang, Sha. Hehehe. Udah cepetan bangunin Riani."

            "Ye, kalo itu sih kamu nyari-nyari alesan make nama Riani dong."

            Riani terbangun mendengar ribut kecil antara Ishana dan Dewangga.

            "Lho Ri, udah bangun, barusan aja aku mau ngebangunin kamu."

            "Siapa yang nggak akan kebangun denger suara kalian saingan kenceng-kencengan gitu."

            Dewangga dan Ishana tertawa mendengar jawaban Riani.

            "Tujuan kita mau kemana aja sih, Ngga?" tanya Riani.

            "Tanya sama miss ribet tuh, Ri. Aku kan cuma supir yang nganter kemana pun permintaan juragan."

            "Eh, kamu nggak cuman sekedar supir, Ngga. Kamu kan juga bodyguard kita, bos yang ngebayarin kita makan, sekalian nanti yang bawa-bawain belanjaan kita."

            Riani tertawa melihat sikap Ishana dan Dewangga. Mereka seperti tom and jerry yang selalu bertengkar, tapi di setiap pertengkaran mereka terlihat kasih sayang mereka. Sebenarnya ia sedikit merasa iri pada Ishana. Ia berharap Dewangga juga bisa bersikap apa adanya seperti itu padanya.

            "Jadi Ri, seharian ini kita keliling-keliling Jogja aja deh, kemana pun yang pengen kita datengin, nah nanti kira-kira agak sorean kita baru lanjut ke Sadranan, biar bisa liat sunset di sana. Gimana Pak Supir?"

            "Terserah deh. Yang penting sekarang cepetan pada masuk. Aku udah laper berat," ajak Dewangga seraya menggandeng tangan Ishana dan Riani.

**

Pantai Sadranan sore ini sangat indah. Air lautnya sangat jernih, dengan pasir putihnya yang bersih. Menurut Ishana, pertama kali ia datang kesini, pantai Sadranan masih cukup sepi, belum seramai sekarang. Riani dan Ishana menjadi fotomodel dadakan untuk Dewangga. Ishana mengajaknya untuk berpose gila-gilaan, sesuatu yang bukan seperti dirinya. Ia tidak bisa menahan tawanya ketika Ishana mengajaknya berpose sensual sembari memonyongkan bibirnya.

Setelah mulai lelah, Ishana dan Riani duduk di ujung pantai dan membiarkan air laut membasahi kaki mereka. Riani mengedarkan pandangannya, Matanya mencari-cari seseorang. Ishana memperhatikan gerak gerik Riani. "Nyari Angga, Ri?"

Riani tergagap mendengar pertanyaan Ishana. "Err, nggak nyari kok Na. Cuman liat-liat pemandangan aja. Di sini bagus banget ya."

"Nyari juga nggak apa-apa lagi Ri. Kalau lagi liburan kayak gini pasti dia kadang ngilang-ngilang gitu, nyari spot-spot yang bagus buat motret. Kalau udah motret, dia suka berasa hidup di dunia sendirian."

Ia menggenggam tangan Riani, "Tanpa kamu bilang apa-apa, aku tahu gimana perasaan kamu, Ri. Kalian berdua sahabatku, aku berharap kalian bisa nemuin jalan kalian bersama."

"Itu, dia di situ, Ri," Ishana menunjuk ke satu titik.

Riani menoleh, ia terpesona melihat Dewangga begitu fokus dalam dunianya, sisi yang belum pernah ia lihat sebelumnya.  Ia merasa seluruh dunianya tersedot pada satu tempat, tempat Dewangga berdiri. Riani tersadar, hanya dengan melihatnya, hal-hal lain serasa tidak terlalu penting lagi. 

Tiba-tiba Dewangga melihat ke arah mereka. Ia mengarahkan lensanya pada Riani, dan memotretnya. Riani tergagap, ia menunduk seketika karena malu tepergok memperhatikan Dewangga.

Dewangga berjalan mendekati mereka. Tatapan tajamnya tidak pernah melepaskan mata Riani. Semakin ia mendekat, jantung Riani semakin berdebar kencang. Riani berusaha mempersiapkan diri bila trauma irrasionalnya itu muncul lagi. Ia tidak ingin ada hal yang mengganggu hari indahnya itu.

Telapak tangannya mulai terasa sangat dingin, jantungnya bertalu-talu. Tapi bukan ketakutan lagi yang ia rasakan ketika melihat Dewangga.Semua ketakutan itu mulai tergantikan dengan rasa bahagia, bahagia karena ia bisa menghabiskan hari ini bersamanya. Riani menyadari, sekali lagi ia jatuh cinta pada Dewangga. Cinta pertamanya dulu.

GORESAN LUKA HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang