-19-

1.6K 44 4
                                    

        Dewangga menemui keluarga Riani di rumah mereka. Saat ini Riani masih ada di sekolah. Ia memang sengaja memilih waktu ketika Riani tidak ada dirumah. Dewangga ingin meminta ijin pada mama dan eyang putri Riani.

            “Ada apa Dewangga?” tanya Niken.

            “Saya ingin meminta persetujuan Tante dan Eyang untuk melamar Riani. Besok malam, keluarga saya akan datang kemari. Tapi saya belum mengatakannya pada Riani. Saya ingin memberinya kejutan. Apakah Tante dan Eyang menyetujuinya?”

            Niken dan eyang putri berpandangan. “Dewangga, saya dan Eyang putri akan sangat bahagia sekali bila putri saya bisa menikah dengan pria yang sangat dicintainya. Apakah kamu mencintai Riani, Ngga?”

            “Saya mencintai Riani, Tante. Sangat. Perasaan saya tidak berubah sejak dulu.”

            Niken tersenyum, “Iya saya tahu bagaimana perasaan kamu sejak dulu pada Riani. Saya hanya ingin penegasan dari kamu saja. Sepertinya pria yang dicintainya, adalah kamu. Jadi saya setuju.”

            “Apapun untuk kebahagiaan Riani, pasti akan saya setujui. Dia berhak untuk bahagia.” ujar Eyang.

            “Terima kasih, Tante, Eyang.” Dewangga terdiam sejenak. “Maaf bila saya lancang, saya bisa meminta alamat ayah Riani, Tante?”

            Niken terhenyak, tidak menjawab pertanyaan Dewangga. Itu merupakan masa lalu yang ingin ia lupakan. Eyang menggenggam tangan Niken.

            “Bisa, Ngga. Tapi untuk apa?”

            “Emm, saya ingin bertemu dengannya, Eyang. Saya juga ingin mendapatkan restu dari ayahnya Riani.”

            Mereka terperangah mendengar jawaban Dewangga. Niken menghela nafasnya.

            “Yah, memang dia berhak untuk mengetahui calon suami Riani. Bagaimana pun dia wajib dan berhak menjadi wali nikah Riani.”

            “Kamu yakin, Ken?”

            “Yakin Bu. Sepertinya sudah waktunya kita menutup lembaran masa lalu. Saya sudah memaafkannya Bu.”

            “Aku yang belum. Anak dan cucuku diperlakukannya seperti itu, aku masih sangat marah. Tapi mungkin benar perkataanmu, Ken. Kita harus melupakan semua dendam, amarah masa lalu.” ujar Eyang Putri.

            Eyang putri berjalan menuju kamarnya, dan keluar dengan membawa sebuah buku catatan. Diberikannya buku catatan itu pada Dewangga. “Di halaman paling belakang tertulis alamat rumah ayah Riani.” ujar Eyang Putri.

            Dewangga membuka buku itu. Dia mencatat alamat rumah itu di ponselnya.

GORESAN LUKA HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang