-15-

1.6K 37 9
                                    

Satu tahun kemudian

            Ian mencari-cari laptop Dewangga. Laptopnya sendiri sedang rusak, padahal ia harus segera mengirim pesan untuk anak buahnya. Setelah menemukannya, ia segera membawa laptop itu ke ruang kerjanya.

            Ian menyalakan laptop itu, ia mencoba-coba memasukkan passwordnya sesuai dengan nama ibu mereka. Ian melihat foto seorang gadis remaja menjadi backgroundnya. Ia berusaha mengingat-ingat, foto itu terasa familiar.

            Ian merasa sangat penasaran. Ia pun membuka file foto-foto Dewangga. Dewangga tidak pernah bercerita bahwa saat ini ia sedang bersama seseorang. Ada satu folder yang menarik perhatiannya. Ia membukanya dan terkesiap, semua foto dalam folder itu adalah foto Riani.

            Ia merasa ada sesuatu yang terjadi antara Dewangga dan Riani. Ian mengambil ponselnya, ia menekan nomer telepon Ishana, berharap Ishana masih menggunakan nomer telepon lamanya. Terdengar sahutan dari seberang teleponnya. Suara seseorang yang sebetulnya sangat ia rindukan, tapi tidak pernah bisa ia miliki.

            “Isha, bisa ketemu?”

**

            Ishana mencari-cari ponselnya ketika mendengar ponselnya berbunyi nyaring. Ia tertegun melihat nomer yang tertera di layarnya. Walaupun ia sudah menghapus kontaknya, nomer tersebut masih selalu tersimpan dalam memori otaknya.

            Ragu-ragu ia menerima panggilan itu. “Halo,” sapanya.

            “Isha, bisa ketemu?”

            Ishana menghela nafasnya. Selama ini hanya satu orang yang memanggilnya dengan sebutan Isha.

            “Kenapa, Ian?”

            “Aku jemput sekarang ya. Setengah jam lagi aku sampe rumah.”

            Ishana memutar matanya. Sikap Ian yang pemaksa itu benar-benar tidak berubah.

            “Ya kalo mau kerumah ya dateng-dateng aja. Tapi jangan harap mau aku temuin kalo kamu belum bilang mau bicara soal apa.”

            “Aku mau nanya soal Riani dan Dewangga, dan kalau kamu nggak mau nemuin aku, aku bakal tetap nunggu di depan rumah kamu sampe jam berapa pun!”

            Ishana sudah siap menembakkan omelannya ketika ia mendengar Ian sudah memutuskan teleponnya.

            “Arrgh..Ian kurang ajarnya nggak ilang-ilang,” omelnya.

**

            Ishana langsung mengeluh ketika menyadari Ian membawanya ke Rainbow Cafe. Rainbow Cafe adalah cafe yang dirancang untuk muda mudi yang sedang dimabuk cinta. Suasanya dibuat temaram dengan lampu-lampu kecil. Suara syahdu penyanyi cafe terdengar dari panggung mini di tengah ruangan.

GORESAN LUKA HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang