Chapter 3. Kontradiksi

2.3K 458 19
                                    

"Kalau cinta adalah racun, maka aku sudah teracuni kau sejak lama."

Pertemuan itu dibubarkan. Hasil akhirnya adalah perundingan apabila ada jasad baru yang datang nanti. Mereka akan dihakimi, sesuai dengan apa yang sudah mereka lakukan di dunia. Para arwah yang menunggu penghakiman akan dikumpulkan pada sebuah dunia bernama dunia fana, tempat di mana sifat baik dan buruk terwujud dalam sebuah rupa yang menampilkan sikap mereka selama hidup. Kontrak Baekha dan Chanyeo masih berjalan, namun Baekha merasa bosan.

"Kenapa kita harus taat pada mereka?" Baekha mengerucutkan bibirnya kesal. Sayap hitamnya terkepak, lalu kakinya hinggap pada sebuah tangkai merah di dunia bawah.

"Karena kita sudah setuju." Kumpulan kalelawar lain berkeliaran, tertawa pongah pada Baekha. Baekha menggeleng ogah.

"Mereka mencoba memengaruhiku."

"Kau yang setuju."

"Apa benar aku setuju?"

"Kau mengikatnya dalam mantra..." Kalelawar itu menunjuk lengan Baekha. Baekha mengembuskan napas ogah. Dia sedang tidak ingin bekerja sama. Baekha ingin terbebas dari semua ini.

Dia ingin bebas, seperti di masa lalu. Baekha pernah mampir ke dunia manusia, menyerupai seorang lelaki muda yang bekeliaran di diskotik. Beberapa lelaki jatuh di kakinya, menelusupkan penisnya ke selangkangan Baekha. Ketika lelaki itu tergeletak, Baekha membunuhnya. Dia sudah biasa bermain kotor, namun baginya... ini adalah sebuah pilihan terbaik.

Dunia fana adalah tempat baru bagi mereka, ketika hitam dan putih menjadi saksi sekaligus hakim, di mana pada akhirnya jiwamu berlabuh. Di sana, Chanyeo juga bertugas. Baekha terbang melayang, hinggap di depan Chanyeo dengan senyuman ringan.

"Aku lapar. Kau?"

Chanyeo tidak perlu mendongak untuk tahu siapa makhluk merah yang terbang dan hinggap di depannya.

"Aku tidak butuh makan."

Baekha merengut. Lalu dalam beberapa detik dia terkekeh senang. Dia tidak tahu akan jadi sangat terpengaruh dengan sikap Chanyeo. Chanyeo terlihat dingin, meskipun nyatanya dia adalah penghuni dunia atas. Seharusnya dia lebih ramah sedikit. Baekha mengepakkan sayap hitamnya, melayang dan mencoba menyentuh Chanyeo.

"Jangan pernah menyentuhku!"

"Kenapa?" Baekha terkekeh geli.

"Kita tidak ditakdirkan untuk saling berdekatan."

"Kau dingin sekali, Chanyeo!"

"Jangan menyebut namaku!"

Baekha merengut. Dia terkekeh, lalu matanya menatap sesuatu. Baekha benci dengan dunia atas dan segala hal sok suci mereka. Mereka terlalu baik, terlalu memandang dunia manusia dengan urusan yang menyusahkan. Padahal Baekha tahu tidak semua manusia perlu dengan kebaikan.

"Ah, tugas pertama kita sudah datang!" Baekha melayang, mengetuk pintu dunia fana sebentar. Pintu itu terbuka ketika Baekha menyebutkan namanya. Chanyeo melangkah, mengikuti. Dia juga menyebutkan namanya. Sebuah jiwa datang. Seorang nenek tua dengan tampilan yang tidak biasa.

Dia terlihat rapuh, dengan wajah keriput. Di sebelah kiri wajahnya sudah menghitam. Baekha tersenyum. Chanyeo duduk bersama Baekha, mengadili jiwa baru yang sedang menunggu sebuah penghakiman.

"Baik, baik... akan kusebutkan namamu." Baekha mengembuskan napas. Sebuah buku melayang, lalu terbuka dengan sendirinya. Baekha berdehem, lalu melanjutkan apa yang sudah ditunjukkan oleh buku itu. "Park Min Gyeom. Lahir di Busan enam puluh tahun yang lalu. Meninggal seorang diri, tanpa siapa pun. Kau tidak meninggal karena sakit, jadi kau meninggal karena memang ini takdirmu?"

Amor (Chanbaek Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang