Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
In whichSon Chaeyoungrevisit a special memory, about a special person, and all the places they've been to.
//
Semua berawal di titik yang sama: pom bensin, pukul enam sore lebih lima menit. Setiap perjalanan tentu memiliki titik penghujung pula. Son Chaeyoung tidak hanya memiliki satu tempat tujuan, namun ia tahu di mana perjalanan ini akan berakhir.
Jaket hitam yang agak kebesaran memeluk tubuh mungilnya dan menghalau udara dingin bulan Januari, ponsel ia matikan sebab ia tidak akan memiliki cukup waktu untuk berdebat dengan pengawal pribadinya atau sang ayah sekali pun. Chaeyoung duduk di balik kemudi, memasang sabuk pengaman dan menarik napas dalam; mempersiapkan diri untuk sebuah perjalanan panjang menuju suburbia.
Tidak perlu ia jelaskan bagaimana proses paksa memaksa dan curi mencuri kunci yang mengantarnya sampai ke pom bensin ini dengan mobil milik salah satu pengawal. Son Chaeyoung masih seperti itu; masih nekat, masih tak tahu malu dan bertindak sesuka hati. Sekarang ia sudah bisa mengemudi sendiri, andaikan Seo Changbin ada di sini, di sebelahnya, di kursi penumpang, pasti lelaki itu akan bangga sekali padanya. Lihat Chaeyoung, si putri presiden bertubuh mungil yang dulu tak bisa menahan gigitan nyamuk, sekarang berani melakukan perjalanan jauh sendirian.
Tapi Changbin tidak ada di sini, sebab ia sudah pergi. Pergi selamanya. Terima kasih, Son Chaeyoung, kau seorang pembunuh keji.
Sekitar setahun telah berlalu, letusan senjata api itu masih terdengar jelas di telinga Chaeyoung. Waktu tak bisa menghapus memori akan perjalanan singkatnya bersama Seo Changbin di daerah pinggiran yang bagai antah berantah. Ia belum melupakan hal pertama yang pemuda itu katakan padanya: ia menyuruh Chaeyoung memakai sabuk pengaman. Dasar, Seo Changbin, bagaimana bisa seseorang memikirkan sabuk pengaman di situasi genting? Chaeyoung tak bisa menahan sudut-sudut bibirnya terangkat kala mengingat sweater merah muda yang Changbin pinjamkan padanya malam itu. Pada momen itu ia tahu bahwa ia bersama orang yang tepat.
Entahlah, bukan karena sweater merah muda atau tumpangan yang Changbin berikan, atau dua mangkuk ramyeon yang mengisi perut laparnya. Chaeyoung tahu saja. Ia tahu Changbin orang yang baik, terlalu baik untuk dunia yang kejam, terlalu baik untuk berakhir bersama pembawa malapetaka sepertinya. Andai Changbin tak sebaik itu. Kadang Chaeyoung sedikit berharap pistol ayah Changbin menyisakan satu peluru, dan Changbin waktu itu cukup jahat untuk membunuhnya di tempat.
Kenyataan pahitnya, ialah si penjahat. Son Chaeyoung, adalah penjahatnya dalam kisah ini. Tangannya memang tak memegang pistol, pun bukan jemarinya yang menarik pelatuk, tetapi rasa bersalah tetap menggerogotinya dari dalam bagai parasit. Ia jahat. Sangat jahat.
Pertemuannya dengan Changbin pasti bukanlah kebetulan semata, sebuah kesalahan yang dibuat semesta sembari terbahak-bahak. "Ups, aku mengikat simpul yang salah pada benang kehidupanmu, kau akan bertemu gadis sialan ini lalu mati. Maaf ya." Rasanya memikirkan Sang Takdir berucap demikian tak adil pula, tidak mungkin kan alam semesta menyusun rencana yang begitu buruknya bagi Seo Changbin? Sudahlah Son Chaeyoung, berhenti menyalahkan keadaan.