#DARAH_PERAWAN
Randu duduk di bibir ranjang dengan kepala tertunduk dan tangan meremas rambut ikalnya. Ia pun masih bertelanjang dada, saat aku keluar dari kamar mandi dengan lilitan handuk di kepala. Ia terlihat murung. Ada apa gerangan? Padahal baru saja kami merengguk kenikmatan madu pernikahan. Tak tampak sedikitpun rona bahagia di wajah tampan itu.
"Siapa yang mendahului aku?" tanya lelaki yang belum genap dua puluh empat jam berstatus sebagai suamiku itu.
Dadaku seperti terhimpit. Sesak. Sebenarnya akupun tak begitu paham apa maksudnya. Hanya sekedar menduga-duga.
Apa yang paling menyakitkan di dunia ini selain yang namanya pengkhianatan?
"Apa maksudmu, Randu?" Sungguh aku tak mengerti apa yang dipikirkan Randu.
"Jangan bohong!" Nada suaranya meninggi. Apa yang salah?
"Aku tidak berbohong!" jawabku tak mau kalah.
"Lalu, jika ini memang yang pertama, kalau kau memang masih gadis, mengapa tidak ada darah keperawanan itu?!" Desis randu tertahan dengan tatapan sinis, seolah aku adalah terpidana yang harus dihukum pancung.
Tunggu! Darah keperawanan? Untuk sejenak aku terngganga. Batinku benar-benar terguncang setelah mendengar perkataan lelaki bertubuh tegap dan berkulit coklat itu.
Aku menelan ludah. Pahit. Seperti ada yang tersangkut dikerongkongan ini. Apa yang harus dikata? Aku memang benar-benar tidak tahu, mengapa bukti kehormatan yang aku jaga seumur hidup itu tidak ada?
"Kau nggak bisa jawab, kan? Karena kau memang sudah tidak suci lagi!" Cerocosnya sengit. Aku bergeming. Baru tersadar,
Randu bangkit berjalan ke arah kamar mandi dan saat melewati aku yang masih berdiri terpaku, ia mendorong tubuhku kasar. Hingga aku tersungkur.
Ya Tuhan, hatiku terasa sakit sekali. Setelah berusaha menjaga kehormatan untuk diserahkan kepada seseorang yang halal untukku, mengapa jadi begini? Mengapa tanda kesucian itu tak ada? Apakah ini ujian di awal pernikahan? Atau ini sebuah teguran karena aku menikah tanpa restu orang tua? Tetesan tetesan embun yang menggenang di pelupuk netra itupun luruh, bersamaan dengan denyut nyeri di palung hati.
"Randu, kamu salah! Aku masih suci. Aku nggak terima kamu hina aku seperti itu!" ucapku berusaha membela diri saat Randu baru saja keluar dari kamar mandi. Dia tak acuh. Tetap melenggang tak mempedulikan aku yang mengekor di belakangnya.
"Randu, plis jangan hukum aku dengan ketidak tahuanku," pintaku memelas. Randu menghentikan aktivitasnya yang hendak mengambil baju di almari.
Dengan tangan masih memegang gagang pintu lemari dia menoleh lalu berkata, "Oya? Apa buktinya?"
Dia berucap datar tapi kejam. Seolah menyatakan semua tuduhannya padaku benar. Padahal semua itu salah besar. Aku gadis baik-baik. Tak pernah berbuat hal yang melanggar norma. Lalu, jika tanda kesucian itu tak ada padaku, apakah itu salahku?
Aku pikir tak ada gunanya perdebatan ini. Emosi Randu tidak sedang berada dalam kondisi yang stabil. Demikian pula diriku.
Aku biarkan Randu pergi. Berharap setelah nanti kembali, kemarahannya sudah mereda.
*
"Hai, sudah pulang?" sapaku ramah, saat melihat suamiku memasuki rumah tipe 45 yang langsung kami tempati setelah resepsi pernikahan. Aku dan Randu memang sepakat setelah menikah akan tinggal sendiri, supaya mandiri.
Lelaki itu, masih diam. Terus saja melangkah masuk ke kamar. Aku mengekor di belakangnya dengan hati was-was. Bagaimana jika ia masih mempertanyakan kegadisanku? Ya Tuhan aku harus jawab apa?
"Jangan dekat-dekat." Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Tanpa melihat ke arahku. Ternyata benar. Ia masih marah. Ya Tuhan ... bagaimana ini? Pikiranku benar- benar kalut. Tidak mungkin aku cerita kepada teman atau saudara tentang keadaanku sekarang. Jika mereka justru memiliki pikiran yang sama dengan Randu, justru aku semakin terpojok. Oh ... kenapa jadi rumit begini.
Aku mengambil sebuah kitab suci yang ia berikan sebagai mahar pernikahan. Lalu aku letakkan tangan kanan di atas kitab itu sambil berkata, "Ya Tuhanku Yang Maha Agung, aku bersumpah atas namamu, bahwa aku masih suci saat menikah dengan suamiku."
Aku berharap setelah mengambil sumpah, Randu bisa sedikit mencair. Namun ternyata tidak, dia hanya tersenyum sinis. Atau lebih tepatnya jijik.
"Yang namanya pembohong, pasti akan melakukan segala upaya agar kebohongannya tidak terbongkar. Licik!"
Kali ini harga diriku benar-benar terluka, di saat yang hampir bersamaan dia menghinaku berkali-kali. Rasa bahagia berbunga-bunga saat ijab qobul kemarin sore, saat ini musnah seketika. Berganti dengan rasa benci yang tak mampu ku bendung lagi. Serupa erupsi gunung berapi yang mematika semua mahluk hidup disekitarnya. Itulah aku sekarang. Logikaku mati. Emosi menguasai. Setelah mengecap lelehan nektar yang ada padaku dengan sangat mudahnya ia mencaci.
"Lalu apa maumu?" Tak tahan dengan kata-katanya yang selalu menghakimi, sekalian aku tantang saja dia. Aku bukan wanita lemah. Dia memang suami, imam yang harus ditaati. Tapi tak begini keadaannya. Aku juga manusia, punya harga diri.
"Aku laki-laki, Grey. Aku juga ingin mendapatkan gadis yang suci," bentaknya kasar, dengan penekanan pada kata 'suci'. Aku semakin naik pitam. Hatiku panas.
"Okey, kalau begitu ceraikan saja aku!!" Pekikku kesal tanpa berpikir.
Sontak Randu melihatku, seketika pandangan kami bertemu. Dia menatapku dengan tatapan yang tak bisa aku artikan. Apakah ia terkejut atau entahlah ....
Next
![](https://img.wattpad.com/cover/174358413-288-k361058.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Darah Perawan (OPEN PO)
RomanceKekisruhan rumah tangga Randu dan Grey ini bermula pada saat malam pertama. Setelah mereguk kenikmatan dunia, justru Sang suami bermuram durja. Ia muntab, karena tahu sang istri tidak memiliki tanda kegadisan yang umum dimiliki oleh seorang perawan...