Kegelisahanku

248 11 2
                                    

"Huh panas banget dah hari ini." keluh Lena, "Iya ya." Ucap Tias, "Eh Anca udah berapa hari ini nggak ada dikelas, kemana tuh bocah?" tanya Divi.

"Bukannya dia ada kegiatan PMR." Jawabku, "Ohh, iya ya." Sahut mereka serentak.

2 menit kemudian Anca datang dengan raut wajah kecewa, marah, dan sedih.

'Ada yang tidak beres.' Batinku , saat itu aku merasa gelisah setelah melihat raut wajahnya yang tak seperti biasa. Aku berusaha menenangkan hatiku yang gelisah.

"Ring, kenapa?" Tias menyadari diriku yang sedang gelisah, "Nggak apa-apa kok." Elakku, aku segera berpindah tempat duduk ketempat Vio dan yang lainnya. Bukan karena aku ingin bergosip tapi aku hanya ingin memastikan bahwa Anca baik-baik saja.

Diam-diam Vio mendekati Anca, "Hei kamu kenapa?" tanya Vio, tak ada jawaban dari Anca dan Vio kembali ketempatnya, "Anca menangis." Ucap Vio pelan. Mendengar kata Vio hatiku semakin tidak karuan.

Rasanya untuk bernapas saja aku tak bisa, "Mungkin karena dia tidak dapat seleksi apa itu untuk PMR? Apasih namanya? Pokoknya itu deh." Ucap Vio tak jelas.

"Dari sekolah kita hanya 2 perwakilan 1 perempuan 1 laki-laki, yang perempuan itu Putri dan yang laki-laki bukan Anca. Nah karena itu Anca nangis." Jelas Ziah.

"Ohh." Ucap kami serentak, "Anca." Panggil seorang guru, kulihat Anca segera menghapus air matanya. "Kenapa?" tanya guru itu, "Tadi saya tertidur sebentar." Elaknya.

"Kamu jangan berkecil hati jika diseleksi ini kamu tidak terpilih, kamu sudah berusaha semampumu untuk menghidupkan PMR disekolah kita. Masih ada seleksi ditahun depan, oke tetap semangat." Guru itu menyemangati Anca.

Kulihat dia tersenyum, senyuman ketabahan seorang Anca sangatlah indah dan pada saat melihat senyum yang terukir dibibirnya hatiku kembali tenang. Entah apa yang sebenarnya terjadi padaku ini?

Aku terus saja memperhatikannya sampai akhirnya mata kami bertemu cukup lama, lagi-lagi dia tersenyum kepadaku seperti memberikan arti bahwa dia tidak apa-apa dan aku ikut tersenyum.

Malamnya seperti biasa kami selalu mengerjakan tugas dirumah Tias, tapi kali ini aku diantar oleh ayahku.

"Pulangnya jam berapa dek?" tanya ayahku, "Mungkin jam 9, nggak usah dijemput aku pulang dengan temanku saja." Ucapku, "Yasudah tapi ingat jangan terlalu malam." Aku mencium tangan ayahku.

"Assalamualaikum." Ucapku, "Waalaikumussalam." Jawab mereka serentak. Aku duduk bersebelahan dengan Anca tapi ada yang beda dengannya kali ini, "Kenapa kamu menatapku seperti itu?" tanyanya.

"Tidak apa-apa hanya saja kamu sedikit berbeda." Jelasku, "Tentu saja aku berbeda." Ucapnya dengan pd.

"Terserah dirimu." Aku tak ingin menanggapinya, "Ring." Panggilnya, "Iya, kenapa?" tanyaku.

"Boleh kita berbicara di luar, berdua?" ucapnya, "Hmm, memangnya kenapa? Bukankah disini juga bisa?" aku berusaha menolak, "Aku tau kau tidak akan mau jika berbicara berdua dengan lelaki, tapi kali ini penting untukmu dan untukku." Dia terlihat serius.

Akhirnya aku mengikuti kemauannya, jujur waktu itu aku sangat gugup. "Masalah tadi siang disekolah kamu tau kan aku kenapa?" dia memecahkan keheningan, "Tidak sepenuhnya sih hanya saja yang aku tau kamu tidak lolos seleksi." Jelasku.

"Ya itu benar, bagiku itu sangat penting karena kakakku juga lolos seleksi sedangkan aku tidak." Untuk kedua kalinya aku melihat raut wajah kecewanya.

"Mungkin itu bukan keberuntunganmu, bukankah kamu sudah berusaha semampumu untuk menghidupkan PMR disekolah kita itu saja sudah membuat kami semua bangga padamu." Aku berusaha meyakinkan dirinya.

"Terima kasih, oh ya apakah tadi siang kamu merasa gelisah?" tiba-tiba pertanyaannya membuatku mati rasa, "Ge...gelisah? maksudmu?" tanyaku pura-pura tak paham.

"Tidak ada." Dia memasukkan kedua tangannya kedalam saku jaketnya, "Jika kamu merasa gelisah dan terlintas dipikiranmu tentang satu orang maka segera temui dia pandangi wajahnya dan hatimu akan segera tenang." Jelasnya.

Pada saat itu aku tak mengerti apa yang dia ucapkan, namun kata-katanya masih ku ingat jelas sampai sekarang.

#######

"Rin." Panggil Sitha, "Ya, kenapa?" tanyaku, "Ini udah malam, bukannya tidur." Sitha menggelengkan kepalanya, "Iya." Aku segera membereskan barang-barang yang tergeletak disembarang tempat.

Baru saja aku hendak melangkah tetapi dadaku terasa sakit, bernapas saja aku tidak bisa. Dan tiba-tiba namanya terlintas dipikiranku membuat tubuhku semakin lemas. Air mataku jatuh bercucuran.

'Dia kenapa lagi.' Batinku, "Rin kamu nggak apa-apa?" dengan sigap Sitha menahan tubuhku agar tidak jatuh, dia menuntunku untuk duduk.

"Hei, kenapa sih?" Sitha memelukku, "Ada apa dengan dirinya, apa yang terjadi?" aku tak bisa mengontrol diriku.

"Rin berhenti mikirin dia, aku udah nggak kuat lihat kamu kayak gini terus. Setiap kali dia ada masalah kamu selalu kayak gini, inget Rin bentar lagi kamu akan dikhitbah sama Ikhsan." Sitha ikut menangis.

"Tha jangan sampai yang lain tau kalau aku masih kayak gini, terutama kak Erika." Aku berusaha untuk berdiri.

"Rin, aku mau tanya sama kamu. Kamu itu cinta nggak sih sama Ikhsan? Jangan sia-siain dia Rin kasihan dia. Kalau kamu emang nggak cinta sama dia jangan dipaksa." Ucap Sitha.

"Tha, aku selalu berusaha untuk cinta sama dia aku selalu berusaha sayang sama dia tapi hatiku selalu menolak, aku harus apa? Memperjuangkan Ikhsan atau memperjuangkan hatiku?" aku kehilangan kendali.

"Sudahlah kalian semua hanya bisa berkata ini itu, tapi aku yang merasakannya aku yang tau bagaimana jadinya, bagaimana sakitnya, bagaimana perihnya, kalian tidak pernah tau. Kalian tidak pernah benar-benar paham jika berada diposisiku." Aku mengeluarkan seluruh emosiku.

PLAKK

Satu tamparan mendarat dengan mulus dipipiku. "Tidak sepantasnya kamu berbicara seperti itu kepada Sitha." Erika menarikku menjauh dari Sitha.

"Sitha itu lebih tua darimu, seharusnya kamu menghormati dia seperti kakakmu." Ucap Erika, "Lebih tua?, oh karena lebih tua aku harus selalu menuruti kata-kata kalian sampai aku harus ngorbanin perasaan aku, iya?" suaraku semakin lantang.

"CUKUP AIRIN." Teriak Sitha, "Kami semua sayang kepadamu, karena itu kami menyuruhmu untuk melupakan dia. Untuk apa kamu mengharapkan dirinya? Kamu tau, dengan kelakuanmu seperti itu kamu sudah menyakiti Ikhsan." Sitha menatapku dengan penuh amarah.

"Sekali saja kamu mengerti, lupakan dia. 8 tahun kamu menunggu ketidakpastian, dan kamu tau bahwa kamu hanya dianggap sahabat. Hentikan Rin, diri kamu sudah terluka terlalu dalam." Lanjutnya dengan air mata yang mengalir deras.

Tubuhku lemah seketika, tenagaku terkuras habis. Dan aku kehilangan kendali, aku tak sadarkan diri.

Malam itu aku sangat menyesal karena lagi-lagi aku tak bisa mengontrol emosiku, apa yang dikatakan mereka ada benarnya juga. Aku beruntung mempunyai orang-orang yang sangat sayang dan perduli padaku.

#############

Jangan lupa vomentny ya... voment kalian merupakan semangat untuk ana...

Salam Sayang

Badriatul Fadilla

Dear Allah, why should him?Where stories live. Discover now