Dia Ingat

191 9 0
                                    

Waktu begitu cepat berlalu, tak terasa sekarang aku sudah kelas 9. Tapi yang sangat disayangkan aku dan teman-teman ku berbeda kelas walaupun jarak antar kelas kami tidak terlalu jauh.

Dan tak lama lagi, kami akan menghadapi Ujian Nasional. Tapi ada yang Aneh dengan Anca, semenjak kenaikan kelas dia tak pernah lagi bertegur sapa denganku. Kelasku dan kelasnya bersebrangan.

Oh ya dikelas 9 aku satu kelas dengan teman baikku yaitu Dinda, sungguh aku sangat bahagia satu kelas dengan si gesrek itu.

Kembali ke Anca,,, heheh.

"Rin." Dinda mengagetkanku. "Iya ada apa?" tanyaku. "Kamu lagi mikirin apaan sih?" Tanya Dinda sembari duduk disampingku.

"Kenapa ya Din, semenjak kelas 9 ini Anca itu berubah sama aku." Keluhku pada Dinda. "Itu hanya perasaanmu saja. Mungkin dia sedang sibuk, sama halnya seperti kita karena akan menghadapi UN." Ucap Dinda.

"Huhh , sudahlah." Ucapku. Aku terus menatap kearah Anca, sehingga mungkin dia menyadarinya.

Dia tersenyum melihat tingkah anehku, bukannya malu aku malah ikut tersenyum.

"Rinnn." Teriaknya dari kejauhan dan membuat semua orang melihat kearahku.

"Anca kenapa? seperti kehabisan obat saja." Dinda terkekeh. "Dari dulu dia begitu." Tawaku meledak.

"Din, pulang nanti kamu ikut aku kan?" tanyaku. "Iya." Jawab Dinda.

Tak lama terdengar bunyi bel pulang, sungguh hari ini sangat melelahkan bagiku.

"Cepetan Din." Keluhku padanya, memang teman ku yang satu ini sangat lamban.

"Iya iya." Ucap Dinda, tak lama jantungku kembali berdetak sangat kencang. Aku sempat kewalahan karena jantungku.

"Ring." Tiba-tiba Anca sudah berada disampingku. "Astaghfirullah, bikin kaget saja." Ucap aku dan Dinda serentak.

"Begitu saja kaget, ya nggak Dhea." Ternyata dia bersama dengan kekasihnya.

"Hai Dhea." Sapaku dan Dinda. "Hai juga Rin, Din." Balasnya. Setelah sampai dipersimpangan, kami dan Dhea berpisah.

"Kok lewat sana?" tanyaku. "Iyalah soalnya rumah aku lewat sana." Jawabnya. "Oh, aku baru tau soalnya." Aku terkekeh.

"Yaudah aku pulang dulu ya, sampai jumpa Anca." Ucap Dhea. "Hati-hati." Teriak Anca dari kejauhan.

"Yah pacarnya udah pulang, kasihan amat." Ejekku. "Lah yang patut dikasihani itu kamu bukan aku." Ucapnya membuatku jengkel.

"Airin." Seketika Anca menarik tanganku, hingga aku berhenti melangkah.

"A....ada apa?" tanyaku gugup, Dinda dan aku hanya terdiam melihat tingkah Anca.

"Barakallahu fii umrik."Anca tiba-tiba menjabat tanganku dan detik selanjutnya dengan cepat aku melepaskan tangan dari genggamannya. "Hah?" aku sempat kebingungan dibuatnya.

"Ish kamu gimana sih, sama tanggal kelahiran aja lupa." Ucapnya kesal, "Ohh iya, ya ampun Rin aku juga baru inget hari inikan tanggal kelahiran kamu. 14 Februari." Ucap Dinda tak kalah histeris.

"Emang aku lahir tanggal berapa?" tanyaku kebingungan. "14 Februari Airingku." Anca semakin kesal denganku.

"Eh iya ya." Aku terkekeh diikuti dengan Dinda. "Nah sekarang kadonya mana?" tanyaku pada Anca.

"Kadonya lewat do'a aja." Anca tersenyum. "Kalau udah lewat Allah berarti kadonya istimewah tuhh." Dinda menggodaku.

"Ish kamu." Aku menatap Dinda tajam. "Udah jangan berantem, mau dibantu nyebrang nggak?" tanpa persetujuanku dia sudah menggenggam tanganku.

Dear Allah, why should him?Where stories live. Discover now